Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama fisika dan matematika, banyak fondasi besar justru lahir dari hal yang pada awalnya tidak menjadi perhatian utama. Fakta-fakta yang dulu dianggap teknis, remeh, atau sekadar gangguan kalkulatif, kemudian dijadikan aksioma—titik awal dari seluruh penalaran baru.
Penting untuk ditegaskan: “Aksioma adalah titik awal (fondasi) sehingga tidak dibuktikan besar, tidak menjadi titik akhir (konklusi) dari proses penalaran.”
Inilah transformasi paling radikal dalam sejarah ilmu: ketika hal yang tidak pernah dianggap penting, justru menjadi dasar untuk menyusun ulang cara manusia memahami semesta.
RELATIVITAS KHUSUS: CAHAYA YANG KONSISTEN TAPI TERABAIKAN
Pada akhir abad ke-19, persamaan Maxwell telah menyatakan dengan jelas bahwa laju cahaya dalam vakum adalah konstan. Namun, fisikawan tetap berpegang pada konsep “eter” sebagai medium rambat gelombang cahaya. Eksperimen Michelson–Morley (1887) gagal menemukan eter, tetapi hasilnya dianggap aneh, bukan petunjuk.
Einstein tidak melihatnya sebagai gangguan. Ia menetapkan: kecepatan cahaya tidak bergantung pada gerak pengamat, dan menjadikannya aksioma dalam Relativitas Khusus (1905). Konstanta yang sebelumnya hanya muncul sebagai output persamaan elektrodinamika, kini dijadikan titik mula geometri ruang-waktu.
MEKANIKA KUANTUM: KUANTA ENERGI YANG AWALNYA DIANGGAP TRIK
Pada tahun 1900, Max Planck memperkenalkan kuantisasi energi semata sebagai solusi teknis terhadap ultraviolet catastrophe dalam radiasi benda hitam. Ia menganggap pembagian energi dalam satuan diskrit sebagai trik matematis, bukan kenyataan fisik, dan berharap teori itu akan digantikan oleh model klasik yang lebih elegan.
Lima tahun kemudian, Einstein menyusun ulang efek fotolistrik dengan keberanian epistemik. Ia menyatakan bahwa kuanta bukan hanya alat hitung, tetapi benar-benar ada. Ia menyebutnya foton, dan memperlakukan kuantisasi sebagai aksioma fisik. Dari asumsi kalkulatif yang terabaikan, lahirlah fondasi mekanika kuantum.
RELATIVITAS UMUM: PRINSIP EKUIVALENSI YANG SELAMA INI TAK DIANGGAP FUNDAMENTAL
Kesetaraan antara percepatan gravitasi dan percepatan inersia telah dicatat oleh Galileo dan diformulasikan oleh Newton. Namun, hal itu dianggap fakta empiris biasa, bukan prinsip. Bahkan dalam teori gravitasi Newton, tidak ada penjelasan mengapa keduanya harus sama.
Einstein, pada tahun 1907, memperlakukan kesetaraan tersebut sebagai aksioma—dalam apa yang kemudian disebut sebagai Prinsip Ekuivalensi. Ia menyatakan bahwa tidak ada eksperimen lokal yang dapat membedakan antara berada dalam medan gravitasi dan berada dalam percepatan. Dengan menjadikan kesetaraan itu sebagai titik awal, ia menyusun ulang teori gravitasi sebagai geometri kelengkungan ruang-waktu: lahirlah Relativitas Umum.
GEOMETRI MATEMATIKA: POSTULAT YANG DULU DIANGGAP MASALAH
Fenomena serupa terjadi dalam matematika. Dalam geometri Euclid, postulat kelima—tentang garis sejajar—selama dua ribu tahun dianggap lemah, bahkan bermasalah. Banyak matematikawan mencoba membuktikannya dari empat postulat sebelumnya.
Namun pada abad ke-19, Gauss, Bolyai, dan Lobachevsky menyatakan dengan jelas: postulat kelima tidak bisa dibuktikan, dan justru bisa diganti. Lahirlah geometri non-Euclidean, dan dunia matematika memasuki fase baru. Postulat yang dulu dianggap ganjil dan ingin dibuktikan, justru menjadi aksioma sah dalam sistem baru.
KESIMPULAN: BERANI MENETAPKAN TITIK MULA
Perubahan besar dalam ilmu pengetahuan sering kali bukan karena ditemukannya jawaban spektakuler, melainkan karena penetapan titik awal yang baru. Fakta-fakta teknis yang dulunya tidak dianggap penting, bahkan dihindari karena tampak mencurigakan, bisa menjadi pintu masuk ke seluruh paradigma baru.
Einstein dan para pemikir lain mengingatkan kita: jika sebuah fakta tetap bertahan, konsisten, dan memiliki koherensi meski tidak bisa dibuktikan dari prinsip lama, maka mungkin saatnya ia dijadikan aksioma baru.
Karena sekali lagi: “Aksioma adalah titik awal (fondasi) sehingga tidak dibuktikan besar, tidak menjadi titik akhir (konklusi) dari proses penalaran.”