Artikel Kategori: Titik Ba

TIDAK ADA KAUSALITAS DALAM كُن فَيَكُون: TINJAUAN LINGUISTIK DAN TERUTAMA FISIKA MUTAKHIR

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Pendahuluan

Klausa Qur’ani كُن فَيَكُونُ sering dipahami sebagai perintah ilahi yang menyebabkan sesuatu terjadi. Namun, jika ditinjau secara ketat dari sisi linguistik, filsafat bahasa, dan fisika mutakhir, klausa ini tidak menunjukkan kausalitas dalam pengertian klasik. Yang hadir bukanlah urutan sebab-akibat, melainkan identitas ontologis antara makna dan manifestasi. Bahkan, struktur ini lebih menyerupai simetri eksistensial sebagaimana ditemukan dalam fenomena quantum entanglement. Untuk memahami ini secara utuh, kita perlu mengurai konsep كلام نافذ—ujaran yang langsung mengadakan.

POLEMIK AQIDAH KORSLET, MENGAPA HARUS DITARIK DARI TEOLOGI KE EPISTEMOLOGI?

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Polemik Aqidah Korslet—kesalahan fatal menuntut pembuktian rasional untuk memverifikasi aksioma Tuhan (Khāliq), yaitu rukun iman ke-1, —adalah kasus unik. Secara logika, komunitas yang mempertahankan metodologi ini sebenarnya sudah kalah telak dan tidak memiliki argumen lagi. Namun, membiarkan polemik ini berlarut-larut dalam domain aslinya (teologi) adalah kekalahan strategis. Karena itu, ia harus ditarik ke domain epistemologi.

​1. Kekalahan Mutlak di Ranah Logika

​Kritik Aqidah Korslet berakar pada satu prinsip universal yang tak terbantahkan: Titik awal atau aksioma tidak boleh dibuktikan. Inilah pola pikir Iman Berlanjut Istiqomah yang telah memandu peradaban selama berabad-abad. Pola pikir ini mendasari aksiomatisasi geometri oleh Euclid, yang kemudian dilanjutkan oleh Peano hingga ZFC di domain matematika. Hal yang sama berlaku di domain sains, dari aksioma Inersia oleh Newton hingga aksioma Invariansi Laju Cahaya oleh Einstein dan prinsip-prinsip Mekanika Kuantum. Para tokoh ini mengimani aksioma mereka, lalu menerapkan nalar secara Istiqomah (konsisten) untuk membangun sistem. Dengan standar ini, Aqidah Korslet (menuntut pembuktian atas aksioma mutlak) adalah kesalahan logika formal yang terang-benderang. Secara intelektual, komunitas pro-Aqidah Korslet tidak mungkin menang, itulah sebabnya banyak juru dakwah memilih tiarap ketika dihadapkan pada kritik ini.

QS. 30:20–25 — ENAM AYAT YANG DIINGKARI AQIDAH KORSLET

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Wabah overthinking—yaitu kekhawatiran dan analisis berlebihan yang melumpuhkan—melanda umat Islam karena gagal memahami kaidah fondasi keimanan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an:

> إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

(QS. Al-Aḥqāf: 13)

Ayat ini menyajikan formula metodologis dua langkah:

  1. Aksiomatisasi iman: قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ

  2. Pembuktian konsistensi: ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟

Imbalannya adalah kebebasan dari kekhawatiran (خَوْف) dan kesedihan (يَحْزَنُونَ). Aqidah Korslet—yaitu tuntutan untuk membuktikan Aksioma Tuhan—adalah penyakit metodologis yang secara fundamental melanggar formula ini, terutama dengan mengingkari fungsi آيات dalam QS. 30:20–25.

BUKAN SALAFI, MELAINKAN TASAWUF DIDUKUNG FILSAFAT MATEMATIKA DAN SAINS, ITULAH PEMBONGKAR DAN PENGGANTI AQIDAH KORSLET

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

​Aqidah Korslet—yaitu kesalahan metodologis dalam membuktikan eksistensi Tuhan (Wājib al-Wujūd, واجب الوجود) dengan menggunakan alam semesta (Mumkin al-Wujūd، ممكن الوجود) sebagai dalil (dalīl)—adalah penyakit nalar yang harus disembuhkan. Koreksi terhadap kekeliruan ini tidak hanya datang dari kritik Salafi, tetapi justru mencapai puncaknya melalui sintesis antara Tasawuf (Ibn ‘Arabi dan Ibn ‘Atha’illah), yang didukung oleh penemuan fundamental dalam filsafat matematika, logika, dan sains modern.

​Kritik Ibnu Taimiyah yang Salah Sasaran

​Ibnu Taimiyah, rujukan utama kelompok Salafi, memang menentang metode mutakallimūn yang mencoba membuktikan Tuhan melalui logika. Namun, penentangannya didasari oleh logika yang berbeda:

THEIS VERSUS ATHEIS: BUKAN PEMBUKTIAN, MELAINKAN AKSIOMATISASI

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Perdebatan abadi antara teisme (keyakinan akan Tuhan/Tujuan) dan ateisme (ketiadaan Tuhan/Tujuan) sering terjebak dalam perangkap yang salah: mencari pembuktian (proof). Teis menuntut ateis membuktikan bahwa Tuhan tidak ada; ateis menuntut teis membuktikan keberadaan Tuhan.

Kenyataannya, konflik ini bukanlah tentang hasil pembuktian (teorema), melainkan tentang aksiomatisasi—yakni, penetapan premis dasar atau fondasi yang diterima tanpa bukti, yang kemudian membentuk seluruh kerangka penalaran.

​Inti permasalahan terletak pada pilihan aksioma ontologis (prinsip-prinsip tentang keberadaan) yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk memulai dan menyusun pandangan mereka tentang realitas.

DARI ABSTRAK (TITIK BA) KE KONKRET (ToSM)

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Dari spiritual set (Titik Ba) hingga tool set (ToSM)
Dari spiritual set (Titik Ba) hingga tool set (ToSM)

1. Titik Ba sebagai Spiritual Set

Tauhid (توحيد) adalah simbol verbal, terucap. Apa simbol visual, yang terlihat? Titik Ba.

Terinspirasi gagasan yang berasal dari Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, terbit buku Titik Ba pada tahun 2007 (Mizan, Bandung) dan terbit ulang pada 2021 (Republika, Jakarta).

GLORIFIKASI SANAD

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Ketika Sesat Pikir Argumentum ad Verecundiam Dijadikan Tradisi Ilmiah di Tengah Umat Islam

-–

Ahmad Thoha Faz mengenal ajaran bumi datar setelah belajar langsung ke bapak kandung (KHA Zainuddin Shiddiq), yang sebelumnya belajar tafsir Jalalain di pesantren.
Ahmad Thoha Faz mengenal ajaran bumi datar setelah belajar langsung ke bapak kandung (KHA Zainuddin Shiddiq), yang sebelumnya belajar tafsir Jalalain di pesantren.

🔍 Pendahuluan

Sanad, dalam tradisi Islam, awalnya adalah sistem verifikasi periwayatan hadis. Namun dalam praktik keilmuan, ia telah mengalami generalisasi dan sakralisasi yang melampaui batas epistemik. Sanad kini digunakan untuk membakukan tafsir, aqidah, fiqh, bahkan logika dan sains—tanpa verifikasi operasional. Akibatnya, ia menjadi sumber pembekuan nalar dan pembakuan sesat pikir argumentum ad verecundiam: menganggap suatu ajaran benar hanya karena berasal dari otoritas yang dihormati.

DARI HANBALI KE ZHAHIRI: PERGESERAN MAZHAB DI BALIK VISION 2030 ARAB SAUDI

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

Muhammad bin Salman, sang putra mahkota yang menjadi arsitek utama transformasi sosial dan ekonomi Saudi Arabia melalui Vision 2030
Muhammad bin Salman, sang putra mahkota yang menjadi arsitek utama transformasi sosial dan ekonomi Saudi Arabia melalui Vision 2030

“Beliau lancar berbahasa Inggris. Insya Allah beliau di Solo sampai Senin pagi.”

Begitulah pesan WhatsApp dari KH Muhammad Faeshol Muzammil, yang sedang bersama Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi—ulama reformis Arab Saudi yang dikenal sebagai penasihat pribadi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi, melainkan titik terang dari pergeseran mazhab yang sedang berlangsung di jantung dunia Islam: dari konservatisme Hanbali menuju literalisme epistemik ala Zhahiri.

KETEPATAN TASAWUF “ZHAHIRI” IBNU ‘ARABI DAN KESESATAN TAKWIL IBNU TAIMIYAH DALAM CAHAYA SAINS MUTAKHIR

| Oleh: Ahmad Thoha Faz

“Di dalam dirimu menampung jagat raya”
"Di dalam dirimu menampung jagat raya"

Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Taimiyah sering diposisikan sebagai dua kutub yang berseberangan. Namun pembacaan yang lebih teliti dan jujur menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi justru merupakan penjaga makna zhahir Al-Qur’an yang paling konsisten. Ia tidak melarikan diri ke wilayah takwil spekulatif, melainkan menjadikan zhahir sebagai pintu masuk menuju batin yang sahih dan terstruktur. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah justru berani melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang terang-benderang dan berulang-ulang, terutama dalam hal eksistensi alam semesta.