ADAKAH PERUBAHAN DALAM TITIK BA? Membaca Evolusi Epistemik dan Operasional dalam Paradigma Titik Ba
“Beliau lancar berbahasa Inggris. Insya Allah beliau di Solo sampai Senin pagi.”
Begitulah pesan WhatsApp dari KH Muhammad Faeshol Muzammil, yang sedang bersama Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi—ulama reformis Arab Saudi yang dikenal sebagai penasihat pribadi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi, melainkan titik terang dari pergeseran mazhab yang sedang berlangsung di jantung dunia Islam: dari konservatisme Hanbali menuju literalisme epistemik ala Zhahiri.
Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Taimiyah sering diposisikan sebagai dua kutub yang berseberangan. Namun pembacaan yang lebih teliti dan jujur menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi justru merupakan penjaga makna zhahir Al-Qur’an yang paling konsisten. Ia tidak melarikan diri ke wilayah takwil spekulatif, melainkan menjadikan zhahir sebagai pintu masuk menuju batin yang sahih dan terstruktur. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah justru berani melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang terang-benderang dan berulang-ulang, terutama dalam hal eksistensi alam semesta.
Dalam beberapa tahun terakhir, dominasi Wahabisme di Arab Saudi mengalami penurunan yang signifikan. Sejak peluncuran Vision 2030 oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman, arah kebijakan negara secara eksplisit menjauh dari ekstremisme dan menuju Islam yang lebih moderat dan terbuka. Pernyataan resmi dari sang Putra Mahkota menyebutkan bahwa Arab Saudi akan “mengembalikan Islam ke asalnya yang toleran dan terbuka,” sebuah sinyal kuat bahwa Wahabisme tidak lagi menjadi satu-satunya acuan ideologis negara.
Kebenaran tidak boleh kontradiksi. Tidak mungkin ketika dalam aqidah saya dan anda menerima A, tapi sewaktu menekuni fisika saya dan anda menerima bukan A. Prinsip non-kontradiksi mendasari kewarasan.
Nah, setelah berabad-abad memimpin peradaban dunia, mengapa umat Islam terbelakang dalam logika, matematika dan sains terutama setelah tahun 1500?
“Tidak banyak ustadz NU yang ceramahnya logis. Tapi ada satu, yaitu Ustadz Muhammad Nuruddin.”
Begitu komentar teman, sosok terpenting di balik gerakan Sumatera Selatan Berantas Gagap Hitung. Alumni Teknik Industri ITB itu sangat cerdas. Dulu selalu menjadi juara tryout UMPTN, sampai menjadi “sumber penghasilan”.
Surat Ali ‘Imran: 190-191
Ayat Ali ‘Imran: 191 menyusun bukan sekadar laku spiritual, tetapi struktur epistemik yang sangat presisi. Ia menggambarkan tiga serangkai pola pikir ulul albab—mereka yang tidak hanya berzikir, tetapi juga bertafakkur dan menyimpulkan secara rigor. Jika dibaca melalui lensa sistem formal dan filsafat sains, ayat ini menyusun urutan epistemik yang sangat mirip dengan struktur pembentukan teori dalam ilmu pengetahuan dan logika aksiomatik. Berikut penjabaran ketiganya:
Di antara kutipan paling menggugah dalam sejarah sains, ucapan Albert Einstein—“Tuhan tidak bermain dadu”—berdiri sebagai penanda perlawanan terhadap arus baru dalam fisika abad ke-20. Namun kutipan ini sering disalahpahami. Einstein bukan menolak probabilitas secara keseluruhan, melainkan menolak probabilitas sebagai fondasi ontologis dari realitas fisik. Ia menerima probabilitas sebagai alat epistemik dalam sistem yang kompleks, tetapi menolak menjadikannya sebagai prinsip dasar alam semesta.
Mekanika kuantum memperkenalkan probabilitas bukan sebagai keterbatasan pengetahuan, tetapi sebagai sifat dasar dunia. Dalam eksperimen dua celah, misalnya, partikel seperti elektron dapat menunjukkan perilaku gelombang dan interferensi bahkan ketika dikirim satu per satu. Lebih mengejutkan lagi, hasil pengukuran spin atau posisi partikel tidak dapat diprediksi secara pasti, hanya secara probabilistik.
Di antara nyala api dan hukum-hukum fisika, manusia terus mencari makna: apakah alam semesta ini bergerak karena hukum-hukum yang pasti, atau karena kehendak yang tak terlihat? Newton menyebut hukum gerak sebagai tanda kebesaran Tuhan. Laplace, sebaliknya, menyingkirkan Tuhan dari kalkulasi. Abdus Salam melihat simetri sebagai jejak ilahi dalam fisika. Tapi jauh sebelum mereka, al-Ghazali sudah mengusulkan sesuatu yang lebih radikal: bahwa api tidak niscaya membakar kapas.
#ImanBerlanjutIstiqomah
Sejarah fisika modern ditentukan oleh keberanian untuk berhenti mencari bukti dan mulai menetapkan titik awal. Dua konsep yang menunjukkan hal ini dengan sangat jelas adalah inersia dan invariansi laju cahaya. Keduanya lahir dari eksperimen yang nyaris buntu, namun akhirnya menjadi fondasi sistem teoritis setelah ditetapkan sebagai aksioma. Tanpa penetapan tersebut, revolusi ilmiah tak akan pernah bergerak maju.
Inersia menyatakan bahwa suatu benda akan mempertahankan keadaannya (diam atau bergerak lurus beraturan) kecuali ada gaya luar yang bekerja padanya. Konsep ini tidak muncul dari pembuktian langsung, melainkan dari idealisasi. Galileo menyusun eksperimen bola menggelinding di permukaan miring untuk memperkirakan pergerakan tanpa hambatan. Ia menyadari bahwa semakin licin permukaan, semakin lama bola mempertahankan kecepatannya. Dalam kondisi ideal (tanpa gesekan dan gangguan eksternal), benda akan terus bergerak tanpa perubahan.