Sejak kecil, saya seperti banyak umat Islam lainnya, diajarkan bahwa Allah itu ada dan Maha Segalanya. Tapi seiring waktu, terutama setelah menempuh studi doktoral di bidang ilmu komputer di Jerman, saya menemukan sebuah sudut pandang yang semakin menguatkan keyakinan itu bukan melalui pembuktian, tetapi melalui pemahaman bahwa iman tidak membutuhkan bukti.
Disertasi doktoral saya membahas tentang Belief Revision atau dalam Bahasa Indonesia, revisi kepercayaan. Ini adalah cabang dari logika formal dan Artificial Intelligence (AI) yang mencoba menjawab satu pertanyaan mendasar: Bagaimana seharusnya seseorang memperbarui kepercayaannya ketika mendapatkan informasi baru?
Yang menarik, bidang ini sangat teoretikal. Kami para peneliti mencoba merumuskan postulat atau prinsip dasar dalam melakukan revisi kepercayaan. Tapi, ada satu fakta penting yang sering luput dari perhatian: postulat-postulat itu tidak dibuktikan, tetapi diterima begitu saja. Kami mengimani bahwa postulat itu benar, lalu membangun teori-teori, model-model, dan algoritma di atas dasar itu. Dari iman ilmiah itulah berkembang ratusan bahkan ribuan riset di bidang ini.
Saya tersentak ketika menyadari bahwa pendekatan yang sama justru sudah diajarkan oleh Islam sejak lama. Kita tidak diminta untuk membuktikan keberadaan Allah secara empiris atau logis hingga titik kesimpulan mutlak. Sebaliknya, kita diminta beriman, lalu dari keimanan itu tumbuhlah amal, kontribusi, dan karya.
Ilmu Itu Berdiri di Atas Iman
Dalam dunia sains, bahkan sains yang paling rasional sekalipun, kita tidak memulai dari pembuktian mutlak. Kita memulai dari asumsi dasar. Fisika misalnya, tidak bisa membuktikan bahwa hukum Newton berlaku di seluruh semesta. Ttu adalah asumsi. Dalam matematika, aksioma adalah kebenaran yang diterima tanpa pembuktian. Tanpa iman kepada hal-hal dasar itu, seluruh bangunan ilmu tidak bisa berdiri.
Jadi, jika dalam ilmu komputer pun kami mengimani postulat untuk bisa melanjutkan pencarian ilmu, kenapa dalam hal keimanan kepada Tuhan, sebagian orang justru merasa harus membuktikan dulu baru bisa percaya?
Iman Itu Bukan Akhir, Tapi Awal
Dalam Islam, iman bukanlah tujuan akhir. Ia adalah titik tolak. Setelah beriman, kita dituntut untuk beramal, untuk berbuat baik, untuk menebar manfaat, untuk membangun ilmu dan peradaban. Kita diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi, bukan untuk sibuk membuktikan Tuhan, tapi untuk menjadikan bumi ini tempat yang lebih baik melalui ilmu dan amal.
Umat Islam semestinya berhenti terjebak dalam upaya apologetik yang tak berkesudahan. Fokuslah pada kontribusi nyata. Gunakan keimanan sebagai bahan bakar untuk menyalakan karya. Dunia menunggu solusi dari orang-orang beriman, bukan argumen pembuktian eksistensi Tuhan.
Penutup
Saya tidak sedang mengatakan bahwa diskusi filsafat dan teologi itu tidak penting. Tapi saya percaya, umat Islam hari ini sudah saatnya melangkah lebih jauh: berhenti mencari bukti, dan mulai berkarya dari iman yang sudah ada.
Jika seorang ilmuwan bisa membangun seluruh teori hanya dari postulat yang diimani, maka umat Islam yang bergerak berdasarkan iman kepada Tuhan semesta alam seharusnya bisa membangun peradaban.