#ImanBerlanjutIstiqomah
Sejarah fisika modern ditentukan oleh keberanian untuk berhenti mencari bukti dan mulai menetapkan titik awal. Dua konsep yang menunjukkan hal ini dengan sangat jelas adalah inersia dan invariansi laju cahaya. Keduanya lahir dari eksperimen yang nyaris buntu, namun akhirnya menjadi fondasi sistem teoritis setelah ditetapkan sebagai aksioma. Tanpa penetapan tersebut, revolusi ilmiah tak akan pernah bergerak maju.
Galileo dan Inersia: Keteguhan dalam Absennya Bukti Absolut
Inersia menyatakan bahwa suatu benda akan mempertahankan keadaannya (diam atau bergerak lurus beraturan) kecuali ada gaya luar yang bekerja padanya. Konsep ini tidak muncul dari pembuktian langsung, melainkan dari idealisasi. Galileo menyusun eksperimen bola menggelinding di permukaan miring untuk memperkirakan pergerakan tanpa hambatan. Ia menyadari bahwa semakin licin permukaan, semakin lama bola mempertahankan kecepatannya. Dalam kondisi ideal (tanpa gesekan dan gangguan eksternal), benda akan terus bergerak tanpa perubahan.
Namun kondisi tersebut tidak pernah tercapai secara empiris. Bahkan hingga kini, tidak ada eksperimen yang dapat menunjukkan inersia dalam wujud absolut. Yang ada hanyalah pendekatan. Maka, penetapan inersia sebagai aksioma oleh Newton dalam Principia Mathematica (1687) bukanlah bentuk dogma, melainkan respons terhadap batas eksperimentasi. Hukum gerak pertama Newton tidak dibuktikan, ia ditetapkan agar sistem konseptual bisa dibangun.
Tanpa penetapan tersebut:
- Gerak benda akan terus menjadi teka-teki empiris yang tak kunjung selesai
- Hukum kedua dan ketiga Newton tak akan memiliki landasan
- Mekanika klasik tak akan terbentuk sebagai sistem matematis yang koheren
Michelson-Morley dan Laju Cahaya: Nihil sebagai Gerbang Aksioma
Pada tahun 1887, Albert Michelson dan Edward Morley merancang eksperimen interferometri untuk membuktikan keberadaan “eter”—media hipotetik yang diyakini menjadi medium rambat cahaya. Dengan memanfaatkan rotasi bumi, mereka memperkirakan perbedaan waktu tempuh cahaya dalam arah sejajar dan tegak lurus terhadap gerak bumi. Jika eter ada, harusnya ada pergeseran interferensi. Tapi hasilnya nihil.
Eksperimen Michelson-Morley menjadi salah satu hasil paling penting dalam sejarah sains bukan karena apa yang ditemukan, tapi karena apa yang gagal ditemukan. Kegagalan itulah yang membuka ruang bagi Einstein untuk menetapkan invariansi laju cahaya sebagai aksioma dalam Zur Elektrodynamik bewegter Körper (1905)—teori relativitas khusus.
Einstein tidak mencoba menyempurnakan eksperimen Michelson-Morley, ia membaca hasilnya sebagai penolakan terhadap eter dan sekaligus sebagai pembenaran untuk menetapkan bahwa laju cahaya adalah konstan dalam semua kerangka acuan inersial. Penetapan ini bukan bentuk “kepercayaan buta”, melainkan langkah konseptual yang membuka seluruh struktur ruang-waktu baru.
Tanpa langkah tersebut:
- Transformasi Lorentz tidak akan memiliki dasar operasional
- Konsep waktu dan simultanitas tidak akan direvisi secara radikal
- Mekanika klasik tetap akan dipaksakan pada fenomena relativistik, menyebabkan kebingungan dan konflik konsep
Aksioma sebagai Gerbang Filsafat Sains
Baik Galileo maupun Einstein berdiri di ambang batas empirisme. Mereka menyadari bahwa ilmu bukanlah sekadar akumulasi pengamatan, melainkan rekayasa konseptual yang membutuhkan titik pijak. Dalam filsafat sains, ini disebut “regress problem”—jika setiap kebenaran menuntut pembuktian, maka kita akan terperangkap dalam rantai tanpa ujung. Aksioma adalah titik berhenti yang membuka kemungkinan konsekuensi.
Penetapan aksioma bukanlah kematian skeptisisme, tapi transformasinya. Kita tidak lagi bertanya “apakah ini benar?”, tetapi “jika ini kita tetapkan, apa yang terjadi?” Dalam konteks inersia dan laju cahaya, penetapan memungkinkan seluruh struktur teori muncul: hukum gerak, relativitas, mekanika kuantum, bahkan kosmologi.
Ini menunjukkan bahwa sains maju bukan hanya karena data, tetapi karena keberanian menetapkan titik nol konseptual.
Kesimpulan
Seandainya inersia dan invariansi laju cahaya terus berusaha dibuktikan secara empiris tanpa ada yang berani menetapkannya, maka fisika modern akan terperangkap dalam siklus eksperimentasi yang steril. Galileo dan Einstein mengajarkan bahwa batas observasi bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk mentransformasikan cara berpikir. Aksioma bukan bentuk dogmatisme, tapi strategi epistemik untuk melanjutkan pembangunan teori.
Sejarah fisika menjadi saksi bahwa gerak ilmu tidak selalu dimulai dari data, tapi sering kali dari keberanian menyatakan: “di sinilah kita berdiri.”