Di antara nyala api dan hukum-hukum fisika, manusia terus mencari makna: apakah alam semesta ini bergerak karena hukum-hukum yang pasti, atau karena kehendak yang tak terlihat? Newton menyebut hukum gerak sebagai tanda kebesaran Tuhan. Laplace, sebaliknya, menyingkirkan Tuhan dari kalkulasi. Abdus Salam melihat simetri sebagai jejak ilahi dalam fisika. Tapi jauh sebelum mereka, al-Ghazali sudah mengusulkan sesuatu yang lebih radikal: bahwa api tidak niscaya membakar kapas.
Al-Ghazali dan Intuisi Probabilistik
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menolak keniscayaan sebab-akibat. Menurutnya, hubungan antara api dan pembakaran bukanlah hukum mutlak, melainkan kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan. Ini bukan sekadar teologi, melainkan intuisi awal tentang probabilitas dalam fenomena fisika.
Namun, al-Ghazali tidak memiliki bahasa operasional untuk menurunkan intuisi itu ke dalam sistem. Ia tidak menggambarkan bagaimana panas berpindah, tidak menyusun model, tidak merumuskan distribusi energi. Ia berhenti di metafisika, bukan mekanika.
Boltzmann: Mewujudkan Probabilitas dalam Fisika
Ludwig Boltzmann, fisikawan Austria abad ke-19, melakukan apa yang al-Ghazali hanya bayangkan: ia membangun mekanika statistik. Dalam dunia Boltzmann, panas bukanlah entitas yang mengalir secara pasti, melainkan hasil dari gerakan acak partikel. Ia menunjukkan bahwa hukum termodinamika, seperti entropi, bukan hukum absolut, melainkan statistik dari jutaan interaksi mikroskopik.
Persamaan Boltzmann menghubungkan distribusi kecepatan partikel dengan perubahan energi dan entropi. Ia membuktikan bahwa fenomena seperti pembakaran atau perpindahan panas adalah hasil dari probabilitas kolektif, bukan determinisme tunggal.
Dengan kata lain, Boltzmann memberi tubuh pada intuisi al-Ghazali. Ia menjadikan probabilitas sebagai fondasi operasional fisika, bukan sekadar spekulasi filosofis.
Kemunduran Visual dan Hilangnya Bahasa Operasional
Mengapa dunia Islam tidak melanjutkan intuisi al-Ghazali ke arah Boltzmann? Salah satu jawabannya adalah hilangnya penguasaan terhadap bahasa visual—geometri dan grafik.
Boltzmann tidak hanya menulis persamaan; ia menggambarkan distribusi energi, kurva entropi, dan diagram fase. Bahasa visual ini adalah kunci untuk memahami sistem kompleks. Tanpa penguasaan terhadap representasi spasial dan statistik, umat Islam kehilangan alat untuk membaca alam semesta secara operasional.
Pasca abad ke-13, tradisi ilmiah Islam bergeser dari visualisasi ke verbalitas. Manuskrip yang dulu kaya ilustrasi menjadi teks normatif. Bahasa alam—yang menuntut grafik, diagram, dan model—tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum utama.
Menuju Sistem Baru: Dari Intuisi ke Operasional
Abdus Salam menghidupkan kembali tradisi visual dan simetri dalam fisika. Tapi tantangan kita hari ini lebih besar: membangun sistem yang bisa mengoperasionalkan intuisi seperti milik al-Ghazali, dengan perangkat seperti milik Boltzmann.
Kita tidak cukup hanya menyebut bahwa api membakar karena Tuhan atau karena hukum alam. Kita harus mampu membangun model probabilistik, menyusun distribusi energi, dan menggambarkan sistem secara visual. Kita harus menjadikan probabilitas bukan sekadar wacana, tapi fondasi operasional.