Di antara kutipan paling menggugah dalam sejarah sains, ucapan Albert Einstein—“Tuhan tidak bermain dadu”—berdiri sebagai penanda perlawanan terhadap arus baru dalam fisika abad ke-20. Namun kutipan ini sering disalahpahami. Einstein bukan menolak probabilitas secara keseluruhan, melainkan menolak probabilitas sebagai fondasi ontologis dari realitas fisik. Ia menerima probabilitas sebagai alat epistemik dalam sistem yang kompleks, tetapi menolak menjadikannya sebagai prinsip dasar alam semesta.
Probabilitas Kuantum: Ketika Realitas Menjadi Acak
Mekanika kuantum memperkenalkan probabilitas bukan sebagai keterbatasan pengetahuan, tetapi sebagai sifat dasar dunia. Dalam eksperimen dua celah, misalnya, partikel seperti elektron dapat menunjukkan perilaku gelombang dan interferensi bahkan ketika dikirim satu per satu. Lebih mengejutkan lagi, hasil pengukuran spin atau posisi partikel tidak dapat diprediksi secara pasti, hanya secara probabilistik.
Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa semakin akurat kita mengetahui posisi suatu partikel, semakin tidak pasti momentumnya, dan sebaliknya. Ini bukan karena keterbatasan alat ukur, tetapi karena struktur realitas itu sendiri. Dalam interpretasi Kopenhagen, alam semesta pada tingkat mikroskopik tidak memiliki determinisme tersembunyi—ia benar-benar acak.
Einstein menolak keras gagasan ini. Ia percaya bahwa di balik probabilitas kuantum, pasti ada variabel tersembunyi yang belum ditemukan. Baginya, alam semesta tidak mungkin beroperasi tanpa penjelasan pasti. “Tuhan tidak bermain dadu” adalah penolakan terhadap pengacakan sebagai prinsip dasar realitas.
Probabilitas Statistik: Ketika Ketidaktahuan Dioperasionalkan
Berbeda dengan mekanika kuantum, mekanika statistika menggunakan probabilitas sebagai pendekatan untuk memahami sistem deterministik yang sangat kompleks. Ludwig Boltzmann menunjukkan bahwa hukum termodinamika, seperti entropi, dapat dijelaskan sebagai hasil dari distribusi energi partikel dalam sistem besar.
Salah satu hasil paling spektakuler dari fisika statistika adalah bahwa dalam sistem gas ideal, kecepatan molekul mengikuti distribusi Maxwell-Boltzmann. Artinya, meskipun semua molekul tunduk pada hukum gerak Newton yang deterministik, kita hanya bisa memprediksi perilaku kolektif mereka secara statistik. Bahkan, probabilitas bahwa semua molekul gas secara spontan berkumpul di satu sudut ruangan adalah tidak nol—meskipun sangat kecil (sekitar 10^−10^23). Ini adalah kemungkinan yang secara matematis sah, tetapi secara intuitif mustahil.
Einstein tidak hanya menerima pendekatan ini—ia menggunakannya. Dalam penjelasan gerak Brown, ia menunjukkan bahwa fluktuasi mikroskopik dapat dijelaskan secara statistik, dan bahwa distribusi probabilistik dapat menghubungkan fenomena makroskopik dengan hukum mikroskopik yang deterministik. Di sini, probabilitas bukanlah pengganti hukum alam, melainkan jembatan epistemik.
Perbedaan Fundamental: Ontologi vs. Epistemologi
Einstein membedakan secara tajam antara probabilitas sebagai alat bantu dan probabilitas sebagai klaim ontologis. Dalam mekanika kuantum, probabilitas adalah kenyataan itu sendiri—dunia di mana peristiwa terjadi tanpa sebab. Dalam mekanika statistika, probabilitas adalah refleksi dari keterbatasan kita dalam mengakses informasi mikroskopik.
Ia menerima yang pertama sebagai pendekatan praktis, dan menolak yang kedua sebagai fondasi metafisik. Dalam konteks ini, “Tuhan tidak bermain dadu” bukanlah penolakan terhadap statistik, melainkan penolakan terhadap pengacakan sebagai prinsip dasar realitas.
Penutup
Memahami perbedaan ini bukan hanya penting untuk sejarah fisika, tetapi juga untuk reformasi epistemik yang lebih luas. Dalam pendidikan dan publikasi, kita perlu membedakan antara probabilitas sebagai strategi operasional dan probabilitas sebagai dogma ontologis. Kutipan Einstein bisa menjadi titik tolak untuk membangun sistem yang tidak hanya canggih secara teknis, tetapi juga jernih secara filosofis.
Ketika probabilitas dijadikan fondasi tanpa klarifikasi epistemik, kita berisiko mengalami korsleting intelektual—di mana ketidaktahuan dijadikan prinsip, dan alat bantu dijadikan keyakinan. Einstein mengingatkan kita bahwa bahkan dalam dunia yang tampak acak, ada kemungkinan bahwa keteraturan masih tersembunyi. Dan tugas kita adalah membangun sistem yang mampu mengaksesnya, bukan menyerah pada kebetulan.