3-SERANGKAI POLA PIKIR ULUL ALBAB: PENGUNGKAPAN AKSIOMA, PEMIKIRAN DAN PEMBUKTIAN

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 21 August 2025 | Kategori: Titik Ba

إِنَّ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰ⁠تِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Surat Ali ‘Imran: 190-191

Ayat Ali ‘Imran: 191 menyusun bukan sekadar laku spiritual, tetapi struktur epistemik yang sangat presisi. Ia menggambarkan tiga serangkai pola pikir ulul albab—mereka yang tidak hanya berzikir, tetapi juga bertafakkur dan menyimpulkan secara rigor. Jika dibaca melalui lensa sistem formal dan filsafat sains, ayat ini menyusun urutan epistemik yang sangat mirip dengan struktur pembentukan teori dalam ilmu pengetahuan dan logika aksiomatik. Berikut penjabaran ketiganya:

  1. Penerimaan dan Pengungkapan Aksioma

“ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ…”

Zikir dalam ayat ini bukan sekadar laku ritual, tetapi bentuk penerimaan terhadap titik awal epistemik: keberadaan Allah sebagai aksioma tertinggi. Dalam sistem formal, aksioma adalah pernyataan yang tidak dibuktikan dari dalam sistem, tetapi dipilih sebagai fondasi agar sistem dapat berjalan. Dalam filsafat sains, ini mirip dengan paradigm commitment—yaitu pengakuan terhadap struktur dasar yang memungkinkan observasi dan teori.

Ulul albab memulai dengan pengakuan terhadap Allah sebagai titik awal. Ini bukan kesimpulan dari observasi, melainkan syarat agar observasi bermakna. Zikir dalam segala posisi (berdiri, duduk, berbaring) menunjukkan bahwa aksioma ini tidak bersifat temporer atau situasional, tetapi menjadi struktur permanen dalam kesadaran epistemik.

  1. Pemikiran (Tafakkur)

“…وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَاتِ وَٱلۡأَرۡضِ…”

Setelah aksioma diterima, proses berpikir dimulai. Tafakkur di sini bukan sekadar kontemplasi, tetapi bentuk eksplorasi sistematis terhadap ciptaan. Dalam sistem formal, ini adalah fase derivation—menurunkan konsekuensi dari aksioma. Dalam filsafat sains, ini adalah fase hypothesis formation dan modeling—di mana struktur dunia diamati dan dipikirkan dalam kerangka yang sudah ditetapkan.

Ulul albab tidak berpikir dalam ruang hampa. Mereka berpikir dalam kerangka aksioma yang telah mereka terima. Maka, tafakkur mereka bukan pencarian Tuhan, tetapi eksplorasi struktur ciptaan yang hanya mungkin jika Tuhan adalah titik awalnya. Ini adalah bentuk konsistensi epistemik, bukan pencarian metafisik.

  1. Pembuktian dan Konklusi Rigor

“رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ”

Puncak dari proses ini adalah konklusi rigor: bahwa ciptaan ini tidak mungkin batil. Ini bukan kesimpulan emosional, tetapi hasil dari proses berpikir yang konsisten dengan aksioma awal. Dalam sistem formal, ini adalah theorem—pernyataan yang diturunkan secara sah dari aksioma. Dalam filsafat sains, ini adalah confirmation—pengakuan bahwa struktur dunia konsisten dengan paradigma yang dipilih.

Ulul albab menyimpulkan bahwa ciptaan ini tidak mungkin batil, bukan karena mereka membuktikan Allah, tetapi karena mereka menyaksikan bahwa sistem ini hanya mungkin jika Allah adalah titik awalnya. Maka, konklusi mereka bukan pembuktian eksistensi, tetapi pembuktian konsistensi.

Ayat ini, jika dibaca secara epistemik, menyusun struktur berpikir yang sangat disiplin: dari pengakuan aksioma, menuju eksplorasi sistematis, hingga konklusi rigor. Ia menuntut agar iman tidak berhenti pada pengakuan, tetapi dilanjutkan dengan pemikiran dan pembuktian yang sah. Maka, ulul albab bukan sekadar orang beriman, tetapi arsitek epistemik yang membangun sistem makna dari titik awal yang mereka terima secara sadar.