“Alhamdulillah si sulung sekarang diterima di Kedokteran UNILA Lampung,” kata Edy asal Brebes, seorang yang usianya tepat sama, hanya beberapa jam lebih tua dibanding dengan usia saya.
Dulu putrinya, si sulung, intens belajar matematika di Pesantren Ilmu Eksakta (PI.E) sewaktu mengisi liburan. Sehari-hari dia belajar di sebuah pesantren terkemuka di Klaten, Jawa Tengah.
Kali ini Edy mengantar si tengah, yang baru saja keluar dari sebuah pesantren terkemuka di Depok, Jawa Barat. Si tengah ialah penulis non-fiksi yang berbakat. Logika verbal kuat.
“Iya, secara umum, kekurangan terbesar pendidikan di pesantren itu mengabaikan logika visual. Matematika itu bahasa visual. Fisika itu bahasa visual. Pesantren kuat dalam budaya ucap-dengar (السمعيات), kurang serius mengembangkan budaya visual-geometri (البصريات).”
Itu yang sering saya sampaikan di mana-mana tentang kelemahan pesantren, termasuk sewaktu mengisi diskusi Titik Ba di Jember bersama ketua RMI PBNU (KH Hodri Ariev) dan di Pati bersama ketua LBM PWNU Jawa Tengah (KH Muhammad Faeshol Muzammil).
MERINTIS PESANTREN YANG PEDULI ILMU EKSAKTA
“Kita buat pesantren NU. Saya fokus di sarana - prasarana, Gus Thoha fokus di kurikulum,” kata Pak SBY (Subhan Yusup), pendiri Sekolah Al Biruni.
Pak SBY tidak berhenti pada ucapan. Sekeluarga semua belajar di Pesantren Ilmu Eksakta (PI.E): Bapak-ibu dan anak-anaknya kecuali si sulung yang saat ini sedang tugas belajar di Manila, Filipina.
Tentu yang dimaksud Pak SBY adalah pesantren pada umumnya yang memiliki santri tinggal tetap. Tidak seperti PI.E yang saya rancang berbeda, karena berfokus pada produksi pengetahuan, yaitu menumbuhkan biji Titik Ba.
“Siap, Pak. Perlu penyiapan sumber daya manusia, personalia unggul, yang menguasai filosofi dan detail- operasional Titik Ba.”
Saat ini, dibantu dengan 4-5 personil, kami sedang merumuskan Matematika Titik. Dengan diskusi intensif, setiap Selasa pagi, semoga menjadi titik awal perintisan pesantren yang tidak alergi dengan logika, matematika dan sains.