Dalam QS. Al-Baqarah (2):34, Allah menggambarkan respons Iblis terhadap perintah sujud kepada Adam dengan dua kata kunci yang sarat makna psikologis dan epistemik: abā (أَبَىٰ) dan istakbara (ٱسْتَكْبَرَ). Ayat ini bukan sekadar narasi keengganan, melainkan dokumentasi urutan mental yang presisi—di mana penolakan mendahului pembenaran. Ini bukan hanya urutan linguistik, tetapi juga urutan kognitif dan neurologis yang konsisten.
Ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam, mereka semua tunduk kecuali Iblis. Kalimat “abā wa istakbara” menunjukkan bahwa Iblis pertama-tama menolak, lalu membenarkan penolakannya dengan kesombongan. Penolakan di sini bukan hasil dari kesombongan, melainkan kesombongan adalah konsekuensi dari penolakan yang tidak bisa dibenarkan secara epistemik. Ini adalah distingsi yang sangat penting: penolakan adalah tindakan, kesombongan adalah narasi yang dibangun untuk mempertahankan tindakan tersebut.
Secara psikologi kognitif, abā mencerminkan aktivasi Sistem 1 dalam kerangka Daniel Kahneman—reaksi cepat, intuitif, dan afektif. Iblis menolak secara spontan, bukan karena analisis rasional, melainkan karena dorongan identitas dan insting status. Penolakan ini terjadi sebelum ada konstruksi pembenaran. Ia tidak terlebih dahulu berpikir “aku lebih baik dari Adam,” melainkan menolak dulu, lalu menyusun narasi “aku dari api, dia dari tanah” sebagai pembenaran.
Sementara itu, istakbara adalah aktivasi Sistem 2—reflektif, deliberatif, dan berbasis konstruksi kognitif. Kesombongan bukan sekadar emosi, tetapi struktur pembenaran yang dibangun untuk melindungi ego dari rasa bersalah atau inferioritas. Iblis menggunakan rasionalisasi untuk mempertahankan keputusan intuitifnya, bukan untuk membuat keputusan itu sejak awal. Ini adalah bias post-hoc yang umum dalam psikologi sosial: seseorang menolak dulu, lalu menyusun alasan untuk membenarkan penolakannya.
Al-Qur’an, dengan presisi linguistiknya, menyusun kata-kata ini sesuai dengan urutan mental yang sebenarnya. Ini menunjukkan bahwa wahyu tidak hanya berbicara secara teologis, tetapi juga secara psikologis dan epistemik. Penempatan abā sebelum istakbara adalah penegasan bahwa tanggung jawab moral dimulai dari tindakan, bukan dari narasi pembenaran. Kesombongan tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak, karena ia muncul setelah penolakan terjadi.
Dalam konteks publik dan institusional, ayat ini menjadi model untuk memahami resistensi terhadap koreksi atau reformasi. Banyak individu atau lembaga menolak secara intuitif, lalu membangun narasi keunggulan atau otoritas untuk mempertahankan posisi. QS.2:34 mengajarkan bahwa penolakan intuitif harus diwaspadai, karena ia sering kali mendahului pembenaran yang bias dan tidak jujur secara epistemik.
Dengan demikian, sikap Iblis dalam QS.2:34 bukan hanya kisah tentang ketidaktaatan, tetapi juga pelajaran tentang urutan mental yang harus dikenali dan diwaspadai dalam kehidupan pribadi, sosial, dan institusional. Penolakan mendahului pembenaran—dan tanggung jawab dimulai dari keberanian untuk mengaudit penolakan sebelum membiarkan pembenaran mengambil alih.