MARKETING REVOLUTION OLEH IBLIS

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 5 September 2025 | Kategori: Ayat-Ayat Cerita

“Marketing Revolution”: Iblis versus Tung Desem Waringin
"Marketing Revolution": Iblis versus Tung Desem Waringin

Dalam dunia pemasaran, Tung Desem Waringin dikenal sebagai pelopor strategi komunikasi yang ekstrem namun efektif. Ia menekankan bahwa orang tidak membeli karena logika, tetapi karena emosi—terutama rasa takut, rasa kurang, dan keinginan untuk menjadi lebih. Strategi ini dikenal sebagai Marketing Revolution, sebuah pendekatan yang menggugah emosi, membangun kredibilitas, dan menutup penjualan dengan positioning yang kuat. Menariknya, strategi ini secara teknis tercermin dalam dua tahap godaan Iblis terhadap Adam dan Hawa dalam QS. Al-A’raf ayat 20–21. Meski tujuannya destruktif, tekniknya adalah revolusi komunikasi yang patut dikaji—agar bisa dikenali, diwaspadai, dan dibalikkan untuk kebaikan.

Tahap pertama dimulai dengan “فَوَسْوَسَ لَهُمَا” (maka Iblis membisikkan kepada keduanya). Ini adalah fase menggugah rasa sakit atau pain point, sebagaimana diajarkan oleh Tung Desem. Iblis tidak langsung menawarkan buah terlarang, melainkan membangkitkan rasa tidak cukup dalam diri Adam dan Hawa. Ia memancing pertanyaan eksistensial: “Kenapa kamu tidak jadi malaikat?” “Kenapa kamu tidak kekal?” “Kenapa kamu dibatasi oleh Tuhan?” Ini adalah framing negatif yang sangat kuat. Dengan mengguncang paradigma lama, Iblis menciptakan urgensi untuk berubah—meski belum menawarkan solusi. Secara teknik, ini adalah pre-selling yang menggugah emosi dan membuka ruang bagi narasi baru.

Tahap kedua muncul dalam “وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ” (dan ia bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya aku adalah penasihat kalian berdua’). Setelah emosi digugah, Iblis masuk ke fase membangun kredibilitas. Dalam bahasa Tung Desem: “Jual diri dulu, baru jual produk.” Iblis tidak tampil sebagai penjual, melainkan sebagai penasihat spiritual yang peduli. Ia bersumpah, mengklaim niat baik, dan memosisikan diri sebagai mitra, bukan musuh. Ini adalah positioning etis yang sangat halus. Adam dan Hawa tidak merasa sedang dimanipulasi, melainkan diayomi secara spiritual. Closing terjadi bukan karena argumen rasional, tetapi karena kepercayaan yang dibangun secara emosional.

Dua tahap ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif tidak selalu identik dengan kebaikan. Teknik yang digunakan Iblis—emosional, personal, kredibel—adalah formula komunikasi yang sangat kuat. Namun, efektivitas komunikasi harus disertai dengan verifikasi etis dan epistemik. Tanpa itu, teknik yang dahsyat bisa menjadi alat penyesatan. QS 7:20–21 adalah pelajaran penting bahwa bahasa bisa menjadi alat pembebasan atau alat manipulasi, tergantung pada niat dan arah transformasi.

“Marketing Revolution oleh Iblis” bukan pujian, melainkan peringatan epistemik. Strategi komunikasi yang menggugah emosi dan membangun kredibilitas harus diarahkan pada kebenaran, bukan pada ilusi. Maka tugas kita bukan menolak teknik, tetapi mengembalikannya ke jalan yang benar—untuk membangun kesadaran, bukan menggoda; untuk membebaskan, bukan menyesatkan.