SYAIKH AHMAD QASIM AL GHAMIDI DAN VISION 2030 ARAB SAUDI

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 7 September 2025 | Kategori: Titik Ba

Syaikh Ahmad Qasim Al Ghamidi dijamu di Keraton Surakarta, 5 September 2025.
Syaikh Ahmad Qasim Al Ghamidi dijamu di Keraton Surakarta, 5 September 2025.

Dalam beberapa tahun terakhir, dominasi Wahabisme di Arab Saudi mengalami penurunan yang signifikan. Sejak peluncuran Vision 2030 oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman, arah kebijakan negara secara eksplisit menjauh dari ekstremisme dan menuju Islam yang lebih moderat dan terbuka. Pernyataan resmi dari sang Putra Mahkota menyebutkan bahwa Arab Saudi akan “mengembalikan Islam ke asalnya yang toleran dan terbuka,” sebuah sinyal kuat bahwa Wahabisme tidak lagi menjadi satu-satunya acuan ideologis negara.

Reformasi ini tercermin dalam berbagai kebijakan konkret. Polisi Syariah (Haia), yang dahulu sangat dominan dalam mengontrol ruang publik, kini dibatasi secara drastis. Perempuan kini diizinkan mengemudi, bepergian tanpa wali, dan bekerja di sektor publik—hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu dalam kerangka Wahabi konservatif. Bahkan ruang publik seperti konser musik, bioskop, dan festival internasional kini dilegalkan dan didukung oleh negara, menunjukkan pergeseran budaya yang sangat mendalam.

Di sektor pendidikan, kurikulum agama direvisi untuk menghapus konten ekstremis dan memperkenalkan nilai-nilai toleransi. Ini bukan sekadar perubahan teknis, melainkan transformasi ideologis yang disengaja. Media nasional pun ikut berperan dalam membentuk narasi baru, dengan lebih sering menampilkan ulama-ulama moderat seperti Syaikh Ahmad Qasim Al Ghamidi sebagai wajah Islam Saudi yang baru. Ulama konservatif yang dulu mendominasi kini jarang tampil, dan pengaruh mereka dalam kebijakan publik semakin menyusut.

Syaikh Ghamidi sendiri memainkan peran strategis dalam transisi ini. Ia dikenal sebagai penasihat informal Putra Mahkota dan sering tampil di media untuk menjelaskan fatwa-fatwa yang mendukung reformasi, seperti membolehkan ikhtilat, tidak mewajibkan cadar, dan menolak pemaksaan shalat berjamaah. Pandangan-pandangan ini sangat resonan di kalangan generasi muda dan masyarakat urban Saudi, yang kini lebih terpapar pendidikan global dan media sosial. Ghamidi menjadi simbol keberanian intelektual dan pembaruan keagamaan yang tidak memusuhi tradisi, tetapi menafsirkannya ulang secara kontekstual.

Yang menarik, meskipun pandangannya kontroversial, Ghamidi tidak dikafirkan atau disingkirkan secara formal oleh lembaga keagamaan negara. Ini menunjukkan bahwa negara memilih mempertahankan pluralitas wacana demi stabilitas dan legitimasi reformasi. Kedekatannya dengan kekuasaan memberinya perlindungan politik, dan reputasinya di media serta dukungan dari generasi muda menjadikannya terlalu berpengaruh untuk disingkirkan tanpa risiko sosial.

Jika tren ini berlanjut, maka dalam beberapa dekade ke depan, pemikiran seperti Ghamidi akan menjadi arus utama, bukan pinggiran. Wahabisme ekstrem akan menjadi warisan sejarah, bukan ideologi negara. Struktur sosial politik Saudi akan bergeser dari teokrasi konservatif menuju monarki modern dengan legitimasi keagamaan yang lebih plural dan kontekstual. Dengan kata lain, Ghamidi bukan hanya bagian dari wacana alternatif—ia adalah arsitek transisi menuju wajah baru Arab Saudi.