“Beliau lancar berbahasa Inggris. Insya Allah beliau di Solo sampai Senin pagi.”
Begitulah pesan WhatsApp dari KH Muhammad Faeshol Muzammil, yang sedang bersama Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi—ulama reformis Arab Saudi yang dikenal sebagai penasihat pribadi Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS). Pertemuan itu bukan sekadar silaturahmi, melainkan titik terang dari pergeseran mazhab yang sedang berlangsung di jantung dunia Islam: dari konservatisme Hanbali menuju literalisme epistemik ala Zhahiri.
Waktu tidak tepat. Senin, seharian dari ba’da subuh, saya mengajar online, termasuk kepada mahasiswa di University of Kentucky, Amerika Serikat. Padahal ingin sekali saya bergabung.
Yang membuat pertemuan ini semakin bermakna adalah fakta bahwa KH Faeshol Muzammil, yang saat ini menjabat ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PWNU Jawa Tengah, pernah melakukan mulazamah langsung dengan Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi di Mekkah selama dua setengah tahun, dari 1999 hingga 2001. Hubungan intelektual ini bukan sekadar perkenalan, melainkan pembelajaran intensif yang turut memperkaya cara pandang fikih dan epistemologi Gus Faeshol hingga kini, selain tetap berakar kuat dalam tradisi pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati maupun Sarang, Rembang.
-–
Pergeseran Mazhab: Dari Hanbali ke Zhahiri
Arab Saudi secara historis dibangun di atas fondasi mazhab Hanbali, terutama versi yang dipengaruhi oleh gerakan Salafi-Wahhabi. Mazhab ini dikenal tekstualis, namun tetap membuka ruang bagi qiyas, istihsan, dan takwil terbatas. Dalam praktiknya, Hanbali sering kali menjadi mazhab yang konservatif secara sosial, membatasi ruang perempuan, hiburan, dan ekspresi publik.
Namun sejak diluncurkannya Vision 2030 oleh MBS, terjadi pergeseran epistemik yang tajam. Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi tampil sebagai simbol transisi ini. Ia menolak banyak konsensus fikih yang tidak berbasis nash eksplisit, termasuk:
- Campur baur laki-laki dan perempuan (ikhtilat), yang menurutnya tidak haram secara mutlak.
- Kewajiban cadar (niqab), yang ia anggap tidak memiliki dasar nash yang eksplisit.
- Larangan terhadap musik dan hiburan, yang ia nilai sebagai hasil takwil berlebihan.
Pandangan-pandangan ini menunjukkan bahwa Al-Ghamidi berpikir dalam kerangka Zhahiri, yakni mazhab yang menolak qiyas dan takwil kecuali jika ada dalil eksplisit. Dalam konteks Vision 2030, pendekatan ini memberi landasan keagamaan yang kuat bagi reformasi sosial yang sedang berlangsung.
-–
Ibnu ‘Arabi: Zhahiri yang Tersamar
Satu kesalahpahaman besar dalam sejarah pemikiran Islam adalah anggapan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah tokoh batini yang menjauh dari makna literal. Padahal, secara metodologis, Ibnu ‘Arabi justru sangat dekat dengan mazhab Zhahiri. Ia menolak takwil yang tidak didukung nash, dan dalam banyak karyanya, ia menegaskan bahwa makna zhahir adalah pintu utama menuju batin.
Berbeda dengan Ibnu Taimiyah yang berani menyatakan bahwa alam semesta adalah “hakikat” (الحقيقة في الأعيان لا في الأذهان), Ibnu ‘Arabi justru konsisten menyebut alam sebagai “ayat”—sebagaimana disebut berulang kali dalam Al-Qur’an. Ia tidak menganggap fenomena sebagai substansi, melainkan sebagai simbol yang menunjuk kepada realitas ilahi. Dalam kerangka ini, Ibnu ‘Arabi lebih teguh pada nash daripada Ibnu Taimiyah, yang justru tergelincir ke dalam takwil spekulatif terhadap ayat-ayat yang sudah sangat jelas.
-–
Sains Mutakhir: Penguatan terhadap Mazhab Zhahiri
Pandangan Zhahiri bahwa alam bukanlah hakikat, melainkan ayat, justru mendapatkan penguatan dari sains mutakhir. Erwin Schrödinger menyatakan bahwa kesadaran adalah tunggal, dan bahwa identitas fisik adalah ilusi. John Archibald Wheeler, dengan gagasan “It from Bit,” menegaskan bahwa realitas fisik berasal dari informasi, bukan dari materi. Dalam fisika kuantum, partikel tidak memiliki eksistensi tetap sebelum diamati—sejalan dengan pandangan bahwa alam semesta adalah medan simbol, bukan substansi mandiri.
Semua ini menunjukkan bahwa pendekatan Zhahiri bukanlah arkais, melainkan epistemik dan futuristik. Ia menjaga batas antara nash dan spekulasi, antara ayat dan asumsi, antara wahyu dan konstruksi sosial.
Vision 2030 bukan hanya proyek ekonomi, tetapi juga reformasi epistemik. Di baliknya berdiri figur seperti Syaikh Ahmad Qasim Al-Ghamidi, yang membawa mazhab Zhahiri keluar dari bayang-bayang sejarah dan menempatkannya di pusat transformasi sosial Arab Saudi. Dalam cahaya literalitas nash, ia menolak takwil yang offside, dan mengembalikan agama kepada makna yang terang—sebagaimana dijaga oleh Ibnu Hazm, dan diamalkan oleh Ibnu ‘Arabi.
Pergeseran dari Hanbali ke Zhahiri bukan sekadar perubahan mazhab, tetapi perubahan cara berpikir tentang wahyu, realitas, dan masa depan Islam.