KETEPATAN TASAWUF “ZHAHIRI” IBNU ‘ARABI DAN KESESATAN TAKWIL IBNU TAIMIYAH DALAM CAHAYA SAINS MUTAKHIR

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 9 September 2025 | Kategori: Titik Ba

“Di dalam dirimu menampung jagat raya”
"Di dalam dirimu menampung jagat raya"

Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Taimiyah sering diposisikan sebagai dua kutub yang berseberangan. Namun pembacaan yang lebih teliti dan jujur menunjukkan bahwa Ibnu ‘Arabi justru merupakan penjaga makna zhahir Al-Qur’an yang paling konsisten. Ia tidak melarikan diri ke wilayah takwil spekulatif, melainkan menjadikan zhahir sebagai pintu masuk menuju batin yang sahih dan terstruktur. Sebaliknya, Ibnu Taimiyah justru berani melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang terang-benderang dan berulang-ulang, terutama dalam hal eksistensi alam semesta.

Salah satu doktrin yang mencerminkan kekacauan epistemik Ibnu Taimiyah adalah pernyataannya bahwa kebenaran berada dalam entitas fisik: الحقيقة في الأعيان لا في الأذهان. Pandangan ini bertentangan langsung dengan puluhan ayat Al-Qur’an yang menyebut alam semesta sebagai āyah—tanda, bukan substansi. Ayat seperti سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ (QS. Fussilat: 53) dan إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (QS. Al-Rum: 21) menegaskan bahwa fenomena alam adalah simbol yang menunjuk, bukan entitas yang berdiri sendiri.

Ibnu ‘Arabi memahami ini dengan sangat jernih. Ia tidak menafsirkan ulang ayat-ayat tersebut secara spekulatif, melainkan memegang teguh makna zhahir-nya: bahwa alam adalah ayat, bukan hakikat. Ia menolak menjadikan fenomena sebagai sumber makna, dan justru menempatkan makna sebagai sumber fenomena. Dalam kerangka wahdatul wujud, alam semesta adalah tajalli, manifestasi dari Nama-Nama Tuhan, bukan entitas independen. Ini bukan takwil, melainkan pemeliharaan makna zhahir yang utuh dan konsisten.

Pandangan Ibnu ‘Arabi ini justru mendapatkan penguatan dari sains mutakhir, terutama dari pemikiran Erwin Schrödinger dan John Archibald Wheeler. Schrödinger, dalam refleksi filosofisnya, menegaskan bahwa kesadaran adalah tunggal dan bahwa identitas fisik adalah ilusi. Ia menolak dualisme tubuh-jiwa dan melihat bahwa realitas fisik tidak memiliki eksistensi tetap sebelum diamati. Dalam dunia kuantum, partikel berada dalam keadaan superposisi hingga ada pengamatan yang memunculkan eksistensinya. Ini berarti bahwa realitas fisik bukanlah entitas independen, melainkan bergantung pada kesadaran—sejalan dengan pandangan Ibnu ‘Arabi bahwa alam adalah ayat yang menunggu untuk dibaca.

John Archibald Wheeler melangkah lebih jauh dengan gagasan “It from Bit”—bahwa segala sesuatu yang eksis berasal dari informasi, bukan dari materi. Dalam pandangannya, alam semesta bukanlah mesin fisik, melainkan jaringan informasi yang hanya menjadi nyata ketika ada interaksi dan pengamatan. Wheeler menyatakan bahwa “pengamat berpartisipasi dalam penciptaan realitas,” sebuah gagasan yang secara langsung menolak doktrin Ibnu Taimiyah tentang eksistensi objektif alam. Jika realitas bergantung pada partisipasi kesadaran, maka alam tidak mungkin menjadi sumber kebenaran yang independen. Ia hanyalah ayat, bukan hakikat.

Dengan demikian, keberanian takwil Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat yang sudah sangat jelas bukan hanya bertentangan dengan Al-Qur’an, tetapi juga dengan logika sains mutakhir. Kekeliruan ini bukan sekadar kesalahan tafsir, tetapi bentuk keberanian epistemik yang mengabaikan makna zhahir yang sudah sangat terang. Sementara itu, Ibnu ‘Arabi tampil sebagai penjaga makna zhahir yang paling konsisten, dan justru mendapatkan penguatan dari fisika kuantum dan teori informasi modern.