ADAKAH PERUBAHAN DALAM TITIK BA? Membaca Evolusi Epistemik dan Operasional dalam Paradigma Titik Ba

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 11 September 2025 | Kategori: Titik Ba

Kritik Titik Ba terhadap Segitiga Penrose: 1. Setiap titik sudut seharusnya bukan realitas melainkan realitas simbolik (ayat, simbol, tanda, code) yang perlu di-decode. 2. Secara logika, konsep semacam itu cacat, yaitu tidak ada titik awal yang jelas (circular reasoning).
Kritik Titik Ba terhadap Segitiga Penrose: 1. Setiap titik sudut seharusnya bukan realitas melainkan realitas simbolik (ayat, simbol, tanda, code) yang perlu di-decode. 2. Secara logika, konsep semacam itu cacat, yaitu tidak ada titik awal yang jelas (circular reasoning).

🕘 Kamis pekan lalu, pukul 09.00 pagi.

Selama dua jam yang intens dan reflektif, pendiri Sekolah Al Biruni, Subhan Yusup—yang akrab saya sapa “Pak SBY”—berkunjung ke Pesantren Ilmu Eksakta (PI.E). Dalam suasana dialog yang hangat dan penuh rasa ingin tahu, beliau mengajukan satu pertanyaan yang menggugah: “Apakah ada perubahan dalam Titik Ba?”

Pertanyaan ini bukan sekadar evaluatif, melainkan membuka ruang untuk meninjau ulang fondasi dan arah gerak dari paradigma Titik Ba—sebuah kerangka epistemik yang kami bangun untuk menjembatani sains, logika, dan spiritualitas dalam satu sistem pembacaan yang utuh dan operasional.

🔍 Titik Ba: Semakin Solid, Semakin Dalam

Secara garis besar, Titik Ba semakin solid. Prinsip-prinsip dasarnya—Tauhid, Cinta, ‘Adil, Kadar, dan Fana—tetap menjadi jangkar dalam pembacaan ayat-ayat Allah, baik yang tertulis (wahyu) maupun yang terbentang di alam dan akal. Namun, dalam detail operasional, kami sedang memasukkan sejumlah konsep baru yang memperkaya dan mempertajam daya jelajah Titik Ba. Konsep-konsep ini bukan sekadar tambahan, melainkan perluasan medan tafsir dan logika yang memungkinkan Titik Ba menjawab tantangan zaman dengan presisi dan keberanian.

Mari kita telusuri satu per satu.

🧠 1. Tiga Serangkai Dunia: Platonic, Mental, Fisikal

Konsep ini terinspirasi dari gagasan Roger Penrose, yang dalam karya-karyanya seperti The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind, mengusulkan bahwa realitas terdiri dari tiga dunia yang saling terkait:

- Dunia Platonic: Dunia ide dan struktur matematika yang bersifat abadi dan universal.

- Dunia Mental: Kesadaran subjektif, tempat ide-ide dipahami dan dimaknai.

- Dunia Fisikal: Dunia materi, tempat otak dan tubuh berada.

Dalam Titik Ba, dunia Platonic merupakan bagian dari kalamullah, yaitu instruksi dan informasi Ilahi. Ia bukan hasil konstruksi manusia, melainkan titik awal yang ditemukan dan diungkapkan, bukan diciptakan maupun dibuktikan. Titik awal, seperti juga titik akhir, adalah misterius. Oleh karena itu, keimanan bil ghaib (يؤمنون بالغيب) adalah keniscayaan epistemik. Kita tidak memulai dari keraguan, melainkan dari pengakuan terhadap misteri dan keterbatasan akal. Dunia Platonic dalam Titik Ba adalah medan ayat yang mendahului logika dan eksperimentasi—ia adalah wahyu dalam bentuk struktur.

Penrose menunjukkan bahwa ketiga dunia ini saling melahirkan dan saling bergantung: dunia fisik melahirkan kesadaran, kesadaran memahami dunia Platonic, dan dunia Platonic mengatur hukum-hukum fisika. Dalam Titik Ba, ini memperkuat pembacaan tiga serangkai simbol: ayat-ayat Allah yang hadir sebagai tanda (Platonic), dipahami oleh akal (mental), dan beroperasi dalam dunia nyata (fisikal). Ini memperkuat prinsip pembacaan outer-in dan inner-out dalam epistemologi Titik Ba.

🌌 2. Kesadaran yang Mendasari Materi: Schrödinger, Planck, Wheeler

Gagasan Erwin Schrödinger dan Max Planck tentang kesatuan kesadaran menjadi landasan penting dalam memahami bahwa materi bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Schrödinger menyatakan secara eksplisit:

> “The total number of minds in the universe is one.”

> “Consciousness is a singular for which there is no plural.”

Dalam Titik Ba, ini menegaskan bahwa kesadaran bukanlah fenomena terpisah antar individu, melainkan medan tunggal tempat ayat-ayat Allah diungkapkan. Multiplikasi kesadaran adalah ilusi; yang nyata adalah satu kesadaran yang menyerap dan mengoperasikan informasi Ilahi.

Sementara itu, Max Planck menyatakan:

> “Science cannot solve the ultimate mystery of nature. And that is because, in the last analysis, we ourselves are part of the mystery that we are trying to solve.”

Kutipan ini memperkuat posisi Titik Ba bahwa titik awal dan titik akhir adalah misterius. Kita tidak berada di luar sistem untuk mengamatinya secara objektif; kita adalah bagian dari sistem itu sendiri. Maka, keimanan bil ghaib bukan sekadar dogma, melainkan konsekuensi logis dari posisi kita sebagai subjek yang menyatu dengan objek.

Kemudian, John Archibald Wheeler memperluas ini dengan gagasan “It from bit”—bahwa segala sesuatu (it) berasal dari informasi (bit). Bahkan dalam versi kuantumnya: “It from qubit.” Dalam Titik Ba, ini memperkuat prinsip bahwa informasi adalah ayat, dan bahwa kesadaran adalah medan tempat ayat-ayat itu diungkap dan dioperasikan. Maka, membaca bukan sekadar aktivitas mental, melainkan gerak kesadaran yang menyentuh struktur realitas.

🧮 3. Keterbatasan Komputasi: Gödel, Turing, dan Hilbert

David Hilbert pernah bermimpi tentang sistem pengetahuan yang lengkap dan konsisten. Namun, Kurt Gödel melalui Incompleteness Theorems membuktikan bahwa dalam sistem formal yang cukup kompleks, akan selalu ada kebenaran yang tidak bisa dibuktikan dari dalam sistem itu sendiri.

Alan Turing kemudian menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat diselesaikan secara algoritmik—ada batas dalam komputasi. Bersama-sama, mereka menutup ambisi Hilbert dan membuka ruang bagi intuisi, kesadaran, dan metafisika sebagai bagian dari epistemologi.

Dalam Titik Ba, ini menjadi pengingat bahwa logika formal bukan satu-satunya jalan menuju kebenaran. Ada wilayah yang hanya bisa dijangkau oleh prinsip Tauhid dan Cinta—prinsip yang melampaui algoritma dan deduksi.

📐 4. Aksiomatisasi Pengetahuan: Inti Perdebatan Teologis

Hilbert juga mewariskan gagasan tentang aksiomatisasi pengetahuan—bahwa setiap sistem berpikir harus dimulai dari aksioma yang jelas. Dalam Titik Ba, ini menjadi titik terang untuk melihat ulang perdebatan antara theis vs atheis, muslim vs non-muslim.

Pertanyaannya bukan lagi “siapa yang benar,” melainkan: aksioma mana yang lebih produktif dan konsisten? Apakah aksioma Tauhid melahirkan sistem yang lebih utuh dan berdaya guna dibanding aksioma materialisme? Titik Ba mengajak kita untuk menilai bukan dari dogma, tapi dari operasionalitas dan koherensi epistemik.

🧩 5. P vs NP: Intuisi vs Logika, dan Kisah Poincaré

Pertanyaan klasik dalam ilmu komputer: Apakah setiap masalah yang solusinya bisa diverifikasi dengan cepat (NP) juga bisa diselesaikan dengan cepat (P)? Dalam Titik Ba, ini menjadi metafora epistemik antara:

- Intuisi (Prinsip II: Cinta/Rahmat): Solusi yang dirasakan, diresapi, dan diverifikasi secara batin.

- Logika (Prinsip III: ‘Adil): Solusi yang dibuktikan secara formal dan deduktif.

Henri Poincaré, seorang matematikawan dan filsuf sains Prancis, pernah berkata:

> “It is by logic that we prove, but by intuition that we discover.”

Kutipan ini lahir dari pengalaman nyata Poincaré sendiri. Dalam usahanya menyelesaikan three-body problem—masalah klasik dalam mekanika langit—Poincaré sempat memenangkan hadiah dari Raja Swedia. Namun, saat menyiapkan publikasi, ia menyadari bahwa ada kesalahan dalam pendekatannya. Ketika memperbaikinya, ia justru menemukan bahwa sistem tersebut menunjukkan perilaku kacau (chaotic): perubahan kecil dalam kondisi awal menghasilkan perbedaan besar dalam hasil akhir.

Penemuan ini, yang lahir dari intuisi dan koreksi diri, menjadi fondasi awal dari chaos theory. Ia menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem deterministik, intuisi kadang lebih tajam daripada algoritma. Dalam konteks Titik Ba, ini memperkuat bahwa intuisi dan logika bukan musuh, melainkan dua sisi dari gerak kesadaran. Kita butuh keduanya untuk membaca ayat-ayat Allah secara utuh.