GLORIFIKASI SANAD

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 21 September 2025 | Kategori: Titik Ba

Ketika Sesat Pikir Argumentum ad Verecundiam Dijadikan Tradisi Ilmiah di Tengah Umat Islam

-–

Ahmad Thoha Faz mengenal ajaran bumi datar setelah belajar langsung ke bapak kandung (KHA Zainuddin Shiddiq), yang sebelumnya belajar tafsir Jalalain di pesantren.
Ahmad Thoha Faz mengenal ajaran bumi datar setelah belajar langsung ke bapak kandung (KHA Zainuddin Shiddiq), yang sebelumnya belajar tafsir Jalalain di pesantren.

🔍 Pendahuluan

Sanad, dalam tradisi Islam, awalnya adalah sistem verifikasi periwayatan hadis. Namun dalam praktik keilmuan, ia telah mengalami generalisasi dan sakralisasi yang melampaui batas epistemik. Sanad kini digunakan untuk membakukan tafsir, aqidah, fiqh, bahkan logika dan sains—tanpa verifikasi operasional. Akibatnya, ia menjadi sumber pembekuan nalar dan pembakuan sesat pikir argumentum ad verecundiam: menganggap suatu ajaran benar hanya karena berasal dari otoritas yang dihormati.

Ketika sanad dijadikan dalil tunggal, maka kritik dianggap pembangkangan, nalar dianggap ancaman, dan pembaruan dianggap penyimpangan. Maka, bukan hanya isi yang dibekukan, tetapi juga akal yang dibungkam. Tradisi ilmiah berubah menjadi ritual pembelaan, bukan forum penyaringan gagasan.

-–

⚠ Kasus Pertama: Kesesatan Konsep Diam dan Gerak dalam Ummul Barāhin

Dalam artikel saya Apa Jadinya Jika Fondasi Fisika Dikacaukan Atas Nama Aqidah, saya menunjukkan bahwa kitab Ummul Barāhin menyebarkan kesesatan logika tentang gerak dan diam. Kitab ini menyatakan:

واعلم أن الحركة والسكون للجرم يصح أن يمثل بهما لأقسام الحكم العقلي الثلاثة، فالواجب العقلي ثبوت أحدهما لا بعينه للجرم، والمستحيل نفيهما معا عن الجرم، والجائز ثبوت أحدهما بالخصوص للجرم.

Pernyataan ini tampak logis secara tekstual, namun cacat secara operasional. Ia mengasumsikan bahwa gerak dan diam adalah keadaan mutlak yang bisa dilekatkan pada benda secara independen. Padahal, dalam fisika—bahkan sejak Galileo dan Newton—gerak dan diam selalu bersifat relatif terhadap kerangka acuan.

Bayangkan seorang penumpang duduk tenang di dalam KA Kaligung. Bagi penumpang lain, ia tampak diam. Bagi pengamat di luar, ia bergerak. Bagi pengamat di pesawat, kecepatannya berbeda lagi. Maka, gerak dan diam bukanlah sifat mutlak benda, melainkan relasi antara benda dan pengamat.

Ketika aqidah memutlakkan apa yang dalam fisika justru bersifat relasional, maka ia bukan sedang membimbing nalar, melainkan sedang merusaknya. Ia mengajarkan umat untuk berpikir tanpa observasi, tanpa verifikasi, dan tanpa kesadaran akan relativitas posisi.

Lebih jauh, prinsip relativitas ini telah tersirat dalam wahyu. QS. As-Sajdah:5 dan QS. Al-Ma’arij:4 menunjukkan bahwa waktu tidak bersifat mutlak. Satu hari dalam sistem langit bisa setara dengan seribu atau lima puluh ribu tahun dalam sistem bumi. Maka, ketika fisika menyatakan bahwa gerak dan waktu adalah fungsi dari kerangka acuan, seorang muslim seharusnya menyambutnya sebagai detail-operasional wahyu, bukan sebagai ancaman terhadap iman.

-–

🌍 Kasus Kedua: Kesesatan Bumi Datar dalam Tafsir Jalalain

Saya mengenal ajaran bumi datar bukan dari YouTube, bukan dari forum konspirasi, tapi dari bapak saya sendiri. Beliau dulu belajar tafsir Jalalain di pesantren, dan dari sanalah beliau menerima keyakinan bahwa bumi itu datar. Bukan karena ia malas berpikir, tapi karena ia diajarkan bahwa tafsir bersanad adalah kebenaran mutlak. Maka, ketika saya mulai bertanya tentang bentuk bumi, saya tidak hanya berhadapan dengan sains, tapi juga dengan warisan tafsir yang telah disakralkan.

Tafsir Jalalain terhadap QS. Al-Ghasyiyah:20 menyatakan:

وَإِلَى ٱلْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
وإلى الأرض كيف سُطحت } أي بسطت، فيستدلون بها على قدرة الله تعالى ووحدانيته، وصدرت بالإبل لأنهم أشد ملابسة لها من غيرها، وقوله: سُطحت ظاهر في الأرض سطح، وعليه علماء الشرع، لا كرة كما قاله أهل الهيئة وإن لم ينقض ركنا من أركان الشرع.

Artinya: “Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan? Maksudnya: dibentangkan. Mereka mengambil pelajaran darinya tentang kekuasaan dan keesaan Allah. Disebutkan unta terlebih dahulu karena mereka lebih akrab dengannya. Dan firman-Nya ‘suthihat’ (dihamparkan) secara lahir menunjukkan bahwa bumi itu datar, dan itulah pendapat para ulama syariat—bukan bulat seperti yang dikatakan oleh ahli falak, meskipun tidak membatalkan rukun syariat.”

Pernyataan ini bukan sekadar tafsir, melainkan bentuk pembakuan sesat pikir atas nama sanad. Tafsir ini bersanad dan diajarkan di banyak pesantren, sehingga narasi bumi datar dianggap bagian dari iman. Padahal, secara ilmiah dan bahkan secara historis dalam tradisi Islam sendiri, bumi telah dipastikan bulat jauh sebelum tafsir ini ditulis.

Al-Biruni telah memastikan bahwa bumi bulat, lengkap dengan radiusnya, secara matematis sekitar 4 abad sebelum terbit Jalalain.

Tepatnya pada tahun 1037 M, Al-Biruni menghitung radius bumi sebagai 6.339,6 km dan kelilingnya sebagai 40.225 km—dengan akurasi 99,62% dibandingkan perhitungan modern. Ia menggunakan metode trigonometri berbasis observasi elevasi dari puncak gunung terhadap horizon laut, dan menyusun model geometris yang sangat presisi.

Ironisnya, tafsir Jalalain justru terbit pada abad ke-15 M—di tengah euforia global penjelajahan bola bumi. Saat itu, bangsa-bangsa Eropa sedang mengarungi samudra, memetakan dunia, dan membuktikan secara empiris bahwa bumi itu bulat. Penjelajahan Columbus (1492), Vasco da Gama (1498), dan Magellan (1519) bukan sekadar ekspansi politik, tetapi juga ekspedisi epistemik yang membongkar mitos bumi datar.

Maka, ketika tafsir Jalalain menyatakan bumi datar, ia bukan hanya keliru secara sains, tapi juga mengabaikan capaian ilmiah umat Islam sendiri dan menutup mata terhadap realitas zaman. Sanad yang digunakan untuk membakukan tafsir ini justru menjadi alat pembekuan nalar dan pengingkaran terhadap warisan ilmiah yang sahih.

-–

🔥 Penutup

Glorifikasi sanad telah menjadikan umat Islam terjebak dalam pengulangan warisan, bukan penyambungan logika. Ketika sanad dijadikan dalil tunggal, maka isi ajaran tidak lagi diverifikasi, melainkan disakralkan. Maka, tugas kita bukan sekadar menghafal sanad, tapi memverifikasi makna. Kita tidak sedang membatalkan warisan, tapi membebaskan akal dari tirani otoritas.

Contoh paling terang datang dari dunia fisika: muara sanad Teori Relativitas adalah Albert Einstein. Dialah yang merumuskan transformasi Lorentz dan membongkar ilusi waktu mutlak. Tapi hari ini, banyak fisikawan modern—dengan perangkat matematika dan eksperimen yang lebih canggih—memahami Teori Relativitas lebih dalam daripada sang pencetusnya. Karena ilmu bukan milik pribadi. Ia bukan warisan yang dibela, melainkan sistem yang diverifikasi, dikembangkan, dan disambung.

“Sanad bukan dalil kebenaran. Ia hanya jejak. Dan jejak harus diverifikasi, bukan disakralkan.”

Jika aqidah adalah cahaya, maka ia harus mampu menerangi jalan berpikir. Dan jika ia adalah fondasi, maka ia harus kokoh menopang bangunan ilmu, bukan meretakkannya dari dalam.