THEIS VERSUS ATHEIS: BUKAN PEMBUKTIAN, MELAINKAN AKSIOMATISASI

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 27 October 2025 | Kategori: Titik Ba

Perdebatan abadi antara teisme (keyakinan akan Tuhan/Tujuan) dan ateisme (ketiadaan Tuhan/Tujuan) sering terjebak dalam perangkap yang salah: mencari pembuktian (proof). Teis menuntut ateis membuktikan bahwa Tuhan tidak ada; ateis menuntut teis membuktikan keberadaan Tuhan.

Kenyataannya, konflik ini bukanlah tentang hasil pembuktian (teorema), melainkan tentang aksiomatisasi—yakni, penetapan premis dasar atau fondasi yang diterima tanpa bukti, yang kemudian membentuk seluruh kerangka penalaran.

​Inti permasalahan terletak pada pilihan aksioma ontologis (prinsip-prinsip tentang keberadaan) yang digunakan oleh kedua belah pihak untuk memulai dan menyusun pandangan mereka tentang realitas.

​Pembuktian: Alat dalam Sistem Aksioma

​Dalam logika dan matematika, pembuktian adalah proses deduktif yang selalu bergantung pada fondasi yang sudah ada. Jika Aksioma X diterima, maka Teorema Y dapat dibuktikan.

​Aksioma –> Pembuktian –> Teorema

​Oleh karena itu, ketika seorang teis menyajikan bukti teologis (misalnya, keteraturan alam), dan seorang ateis menolaknya, penolakan itu jarang disebabkan oleh kesalahan dalam langkah-langkah logika pembuktian, melainkan karena mereka tidak menerima aksioma awal yang sama.

​Aksioma Pembeda: Tauhid Versus Naturalisme

​Pemisahan utama antara teisme dan ateisme dapat dirumuskan sebagai perbedaan aksioma tunggal mengenai sifat fundamental realitas:

​1. Aksioma Teisme (Tauhid): Wujud Wajib

​Teisme (khususnya Tauhid) menetapkan Wujud Wajib (Wājib al-Wujūd) sebagai aksioma primer.

​Aksioma: “لا موجود الا الله” (Lā Maujūda Illā Allāh) — Tidak ada wujud yang sejati (mutlak dan mandiri) selain Allah.

​Implikasi: Aksioma ini berfungsi sebagai sebab pertama yang tidak disebabkan (un-caused cause), menyelesaikan masalah infinite regress (regresi tak berujung) dalam kausalitas.

​Status Alam: Alam semesta adalah Wujud Kontingen (Mumkin al-Wujūd), yang eksistensinya bergantung pada Wujud Wajib tersebut. Alam adalah tanda (āyah), bukan fondasi.

​2. Aksioma Ateisme (Naturalisme): Wujud Mutlak Fisik

​Ateisme, dalam bentuk modernnya (Naturalisme), menetapkan realitas fisik sebagai aksioma primer.

​Aksioma: Naturalisme Metodologis — Alam semesta fisik dan hukum-hukumnya adalah satu-satunya entitas yang ada.

​Implikasi: Aksioma ini menetapkan bahwa alam semesta adalah sistem yang tertutup dan mandiri (Wājib al-Wujūd dalam versi fisik). Tidak ada campur tangan atau kebutuhan bagi entitas di luar materi dan energi.

​Status Alam: Fenomena seperti keberadaan, kesadaran, dan moralitas harus dijelaskan sebagai konsekuensi internal dari evolusi, fisika kuantum, atau proses acak.

​Stephen Hawking: Konsistensi Aksioma Naturalisme

​Kasus Stephen Hawking—seorang ulul albab sains modern yang menguasai fisika tetapi tetap seorang ateis—adalah ilustrasi sempurna dari tesis ini.

​Hawking tidak menggunakan rumus fisika untuk “membuktikan” bahwa Tuhan tidak ada. Sebaliknya, ia bekerja dari aksioma naturalisme dan berusaha menunjukkan bahwa hukum fisika (teorema) dapat menjelaskan awal dan operasi alam semesta secara lengkap, tanpa perlu mengimpor hipotesis Tuhan.

​Keunggulan Hawking: Ia sangat sukses dalam membangun sistem deduktif yang konsisten berdasarkan aksiomanya.

​Batas Hawking: Ia tidak pernah membuktikan kebenaran aksioma naturalisme itu sendiri. Ia tidak bisa membuktikan bahwa alam semesta adalah wujud wajib.

​Pertarungan Sistem: Konsistensi Operasional dan Universal

​Ketika dua sistem aksioma ini bertarung, keunggulan diukur bukan dari pembuktian yang satu menolak yang lain, melainkan dari:

​Konsistensi Operasional: Seberapa detail dan akurat sistem tersebut menjelaskan fenomena yang teramati? Sistem Naturalisme unggul dalam fisika, menawarkan model matematis yang luar biasa presisi.

​Validitas Universal: Seberapa mampu sistem tersebut menjelaskan keseluruhan realitas, termasuk fenomena non-fisik seperti kesadaran, etika, dan makna eksistensial? Sistem Tauhid unggul dalam ranah ini, menyediakan fondasi universal untuk nilai dan tujuan.

​Akhirnya, perselisihan antara teis dan ateis adalah perselisihan tentang di mana meletakkan premis mutlak. Apakah kita memulai dari keberadaan yang mutlak (Tuhan) untuk menjelaskan yang kontingen (alam), ataukah kita memulai dari keberadaan fisik yang kontingen (Alam) dan mengklaimnya sebagai yang mutlak? Pilihan ini, yang merupakan tindakan aksiomatisasi, mendahului semua pembuktian dan argumen logis yang mengikutinya.