Aqidah Korslet—yaitu kesalahan metodologis dalam membuktikan eksistensi Tuhan (Wājib al-Wujūd, واجب الوجود) dengan menggunakan alam semesta (Mumkin al-Wujūd، ممكن الوجود) sebagai dalil (dalīl)—adalah penyakit nalar yang harus disembuhkan. Koreksi terhadap kekeliruan ini tidak hanya datang dari kritik Salafi, tetapi justru mencapai puncaknya melalui sintesis antara Tasawuf (Ibn ‘Arabi dan Ibn ‘Atha’illah), yang didukung oleh penemuan fundamental dalam filsafat matematika, logika, dan sains modern.
Kritik Ibnu Taimiyah yang Salah Sasaran
Ibnu Taimiyah, rujukan utama kelompok Salafi, memang menentang metode mutakallimūn yang mencoba membuktikan Tuhan melalui logika. Namun, penentangannya didasari oleh logika yang berbeda:
Penolakan Logika Deduktif: Ibnu Taimiyah menolak Logika Aristoteles (Manṭiq) dan silogisme secara umum.
Diktum Materialistik: Pandangan beliau terkunci dalam diktum الحقيقة في الاعيان لا في الاذهان (Kebenaran ada pada benda nyata, bukan pada pikiran), yang mencerminkan empirisme dan filsafat materialisme Aristoteles.
Pola pikir ini, yang juga tampak pada Ibnu Rusyd—seorang komentator utama Aristoteles—memang memandu perkembangan sains empiris pada masa embrio. Akan tetapi, dalam isu aksiomatisasi, pandangan ini gagal: ia menolak nalar murni (adzhān) yang mutlak diperlukan untuk menetapkan fondasi. Ia tetap mencari validitas dari objek fisik (a‘yān), sehingga secara metodologis masih rentan terhadap Aqidah Korslet.
Kebangkitan Metafisika: Dari Al-Ghazali ke Mekanika Kuantum
Koreksi metodologis sejati datang dari evolusi pemikiran yang melampaui materialisme sederhana, yaitu melalui peran sentral kesadaran dalam realitas.
Jalur Al-Ghazali dan Descartes: Setelah krisis skeptisisme, Al-Ghazali (dalam fase akhirnya) dan kemudian René Descartes tiba pada kesimpulan bahwa keraguan terhadap eksistensi luar (dubito) justru memperkuat realitas kesadaran (cogito, ergo sum). Mereka menjadikan kesadaran sebagai fondasi yang lebih pasti daripada alam semesta material.
Mekanika Kuantum: Sains modern, melalui Mekanika Kuantum, semakin mengakui peran Pengamat (Kesadaran) dalam menentukan realitas objek, mengikis pandangan materialisme klasik.
Di sini, Filsafat Sains modern menegaskan kembali intuisi Tasawuf: realitas material bukanlah realitas tertinggi.
Tasawuf sebagai Juru Selamat Metodologis
Ajaran Tasawuf menawarkan perspektif aksiomatik yang paling sesuai dengan nalar modern dan Al-Qur’an:
Ibn ‘Arabi: لا موجود الا الله (Tidak ada Wujud selain Allah): Pandangan ini menempatkan Wujud Allah sebagai Aksioma Mutlak yang tunggal. Konsekuensinya, alam semesta dan segala isinya tidak bisa menjadi Realitas Sejati (al-Ḥaqīqah), melainkan hanya Tanda-tanda (āyāt) atau manifestasi dari Wujud Mutlak tersebut, sesuai dengan ratusan ayat Al-Qur’an.
Ibn ‘Atha’illah: Penghancur Aqidah Korslet: Ibn ‘Ata’illah menghempaskan Aqidah Korslet dengan diktumnya:
شتان بين من يستدل به
ومن يستدل عليه .
(Sungguh berbeda jauh antara orang yang berdalil dengan-Nya [Allah] dan orang yang berdalil kepada-Nya [dengan alam semesta]).
Inilah formulasi aksiomatisasi dalam Tasawuf: Allah adalah Aksioma, dan Wujud selain-Nya membutuhkan dalil (pembuktian). Jawaban ini seharusnya dapat menolak kilah mutakallimūn bahwa konsep ini hanya untuk waliyullah; ini adalah tuntutan logika fondasional bagi setiap Muslim.
Faktanya, berbekal logika Aristoteles, mereka tetap bersikeras pembuktian eksistensi Tuhan tetap relevan untuk orang kafir maupun muslim yang belum sampai level waliyullah.
Logika Euclid dan Kematian Obsesi Pembuktian
Kematian obsesi untuk membuktikan Aksioma terjadi secara formal pada tahun 1930-an, mengkonfirmasi kebenaran Tasawuf:
Gödel dan Turing: Karya Kurt Gödel (Teorema Ketidaklengkapan) dan Alan Turing secara efektif mengubur obsesi David Hilbert untuk membuktikan semua kebenaran dalam sistem formal. Mereka membuktikan secara matematis bahwa tidak ada sistem logika yang dapat membuktikan semua aksiomanya sendiri.
Ekspresi Euclid: Penemuan ini secara retrospektif menegaskan metodologi Logika Geometri Euclid yang menjadi inspirasi bagi Newton (Aksioma Inersia) dan Einstein (Aksioma Invariansi Laju Cahaya). Mereka sukses karena berani menetapkan Aksioma dan fokus membuktikan konsistensi (Istiqāmah) dari konsekuensinya.
Dengan demikian, koreksi terhadap Aqidah Korslet tidak datang dari penolakan buta terhadap logika (ala Ibnu Taimiyah), melainkan dari penerimaan logika aksiomatisasi Euclid yang teruji, diperkaya oleh wawasan mendalam Tasawuf (ala Ibn ‘Arabi dan Ibn ‘Ata’illah) yang telah melampaui materialisme sebelum sains modern sendiri melakukannya. Tasawuf, didukung nalar mutakhir, adalah pembongkar dan pengganti Aqidah Korslet.