HARUN MENYATAKAN يَا ابْنَ أُمَّ, MENGAPA HABIL TIDAK?

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 3 November 2025 | Kategori: Ayat-Ayat Cerita

PSIKOLOGI KONFLIK PERSAUDARAAN DALAM AL-QUR’AN

Kisah-kisah persaudaraan dalam Al-Qur’an—seperti tragedi Qabil dan Habil versus krisis Musa dan Harun—menawarkan wawasan mendalam tentang psikologi konflik. Ketika dihadapkan pada amarah saudara sedarah, Harun memilih strategi yang secara psikologis intim: memanggil Musa dengan يَا ابْنَ أُمَّ (“wahai putra ibuku”). Ironisnya, Habil tidak menggunakan panggilan emosional serupa kepada Qabil. Perbedaan fundamental ini bukan sekadar pilihan kata, melainkan cerminan dari kualitas amarah agresor dan kondisi hubungan yang sudah terjalin.

STRATEGI HARUN: DE-ESKALASI MELALUI IKATAN EMOSIONAL

Harun menggunakan frasa “putra ibuku” untuk melakukan de-eskalasi yang cepat dan efektif. Panggilan ini secara sengaja memotong rantai amarah Musa—yang didorong oleh prinsip Tauhid yang dilanggar—dan memproyeksikan frustrasi kepada Harun. Dengan menyerukan ikatan darah dan memori emosional bersama yang melampaui otoritas kenabian Musa, Harun berusaha memicu empati dan rasa bersalah, menarik Musa kembali dari kemarahan etis ke kesadaran self-regulation dan persaudaraan.

STRATEGI HABIL: KETEGASAN MORAL DI HADAPAN KEDENGKIAN

Namun, strategi yang berhasil pada Musa ini tidak berlaku untuk Qabil. Amarah Qabil bukan bersumber dari prinsip yang dilanggar, melainkan dari penyakit hati yang patologis: kedengkian (ḥasad) dan narsisme. Kedengkian menuntut penghancuran target obsesi—dalam hal ini, Habil. Di hadapan amarah yang merusak dan mengakar ini, panggilan yang mengingatkan pada keintiman justru dapat meningkatkan agresi Qabil karena dianggap sebagai ejekan moral atau penguatan superioritas Habil, yang telah mengancam ego Qabil sejak kurbannya ditolak.

Habil tahu bahwa ikatan darah telah mati di hadapan kedengkian.

KONTEKS SOSIAL DAN EMOSIONAL YANG BERBEDA

Selain itu, panggilan intim ini memiliki keterbatasan kontekstual. Pada masa Musa dan Harun, panggilan يَا ابْنَ أُمَّ terasa sangat spesifik dan kuat. Sementara itu, pada masa Qabil dan Habil, Hawa adalah satu-satunya ibu bagi semua anak Adam saat itu. Menggunakan panggilan “anak ibuku” tidak akan menciptakan nuansa keintiman khusus yang kuat, karena semua saudara laki-laki Qabil memiliki ibu yang sama. Panggilan ini tidak memiliki kekuatan pembeda emosional yang diperlukan untuk memutus niat membunuh yang sudah matang.

PILIHAN HABIL: PERINGATAN TEOLOGIS DAN NON-AGRESI

Oleh karena itu, Habil memilih strategi yang sepenuhnya berbeda: ketegasan moral dan kognitif. Ia tahu ia menghadapi niat jahat yang pasti, sebagaimana diungkapkan Qabil:

لَأَقْتُلَنَّكَ — “Aku pasti membunuhmu.” (QS. Al-Mā’idah: 27)

Habil memilih untuk tidak melawan, memodelkan ketakwaan:

إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ — “Sesungguhnya aku ingin agar engkau memikul dosaku dan dosamu…” (QS. Al-Mā’idah: 29)

Ini adalah upaya untuk mengaktifkan penalaran Qabil, menggeser fokusnya dari obsesi jangka pendek kepada hukuman ilahi yang abadi. Sayangnya, strategi ini—yang mengandalkan logika dan moral—gagal karena kemarahan Qabil telah menutup pintu bagi kesadaran rasional.

PELAJARAN PSIKOLOGIS: KUALITAS AMARAH MENENTUKAN STRATEGI

Pada akhirnya, perbedaan dalam strategi ini menunjukkan pelajaran psikologis yang mendalam:

- Harun berhasil karena menghadapi amarah yang dapat ditarik kembali—amarah yang bersumber dari koreksi nilai dan dapat diredam melalui empati dan pengingat emosional.

- Habil gagal karena menghadapi penyakit hati yang patologis—amarah yang bersumber dari kedengkian dan narsisme, yang hanya bisa disembuhkan dengan tobat, bukan dengan bujukan emosional.