PERUMUSAN “IMAN BERLANJUT ISTIQOMAH” DALAM FILSAFAT MATEMATIKA DAN SAINS
Pola pikir “Iman Berlanjut Istiqamah”—yaitu penetapan fondasi yang diterima (Aksioma/Iman) diikuti dengan pencarian konsistensi logis (Istiqamah)—adalah tulang punggung metodologi yang menggerakkan matematika dan sains modern. Meskipun istilah tersebut berakar pada ajaran Islam, esensi metodologisnya telah dirumuskan secara eksplisit oleh para filsuf dan ilmuwan, terutama saat menghadapi krisis fondasi intelektual.
1. Definisi Metodologis: Aksiomatisasi Berlanjut Konsistensi
Dalam konteks sains dan matematika, “Iman Berlanjut Istiqamah” memiliki arti metodologis yang ketat:
Iman (Aksiomatisasi): Merupakan tindakan menetapkan Aksioma—prinsip dasar yang diasumsikan benar tanpa perlu dibuktikan. Ini adalah titik tolak yang harus diterima oleh nalar, mirip dengan قالوا ربنا الله (“Kami berkata: Tuhan kami adalah Allah”).
Istiqamah (Konsistensi): Merupakan tugas yang berkelanjutan untuk mengembangkan konsekuensi logis dari aksioma tersebut dan menguji koherensinya (baik secara internal dalam matematika, maupun dengan realitas dalam sains). Ini adalah tugas membangun sistem pengetahuan yang konsisten, mirip dengan ثم استقموا (“Kemudian mereka beristiqamah”).
2. Jantung Matematika: Pembunuhan Obsesi Hilbert oleh Gödel
Perumusan paling tajam dari pola pikir ini terjadi dalam filsafat matematika abad ke-20:
Obsesi David Hilbert (Mencari Bukti Fondasi): Program Hilbert berambisi menemukan satu set aksioma yang lengkap (mencakup semua kebenaran) dan konsisten (bebas kontradiksi) bagi seluruh matematika. Obsesi ini mirip dengan Aqidah Korslet—mencari Dalīl (bukti) absolut untuk aksioma itu sendiri.
Perumusan Gödel (Menerima Keterbatasan): Pada tahun 1931, Kurt Gödel membunuh obsesi ini dengan Teorema Ketidaklengkapan. Gödel membuktikan bahwa sistem aksiomatik yang kuat dan konsisten pasti tidak lengkap, dan tidak dapat membuktikan konsistensinya sendiri secara internal.
Pola Kerja Baru: Temuan Gödel memaksa matematikawan untuk menerima aksioma sebagai pilihan (Iman) yang tidak dapat diverifikasi secara internal. Energi nalar kemudian beralih fokus sepenuhnya untuk mengeksplorasi konsistensi (istiqamah) dan kegunaan dari aksioma yang dipilih, bukan untuk membuktikan kebenaran mutlaknya.
3. Tulang Punggung Sains: Dari Newton Hingga Einstein
Pola “Iman Berlanjut Istiqamah” telah menjadi cetak biru bagi teori-teori fisika paling revolusioner:
Isaac Newton (Mekanika Klasik): Newton memulai karyanya dengan menetapkan Tiga Hukum Gerak sebagai aksioma (iman). Ia tidak mencoba membuktikan Hukum inersia; ia menerimanya. Seluruh karyanya kemudian diarahkan pada Istiqamah—menarik konsekuensi matematis yang konsisten (melalui kalkulus) untuk memprediksi orbit planet dan dinamika di Bumi. Keberhasilan prediksi ini menjadi validasi atas Istiqamah, bukan pembuktian aksioma.
Albert Einstein (Relativitas): Einstein merevolusi fisika dengan menantang aksioma Newton, tetapi tidak menolak metode aksiomatik. Ia mengganti fondasi lama dengan fondasi baru: Aksioma Invariansi Kecepatan Cahaya (Iman). Ia kemudian menunjukkan Istiqamah dengan konsistensi matematis yang mutlak, menghasilkan rumus seperti E=mc² dan model ruang-waktu yang baru. Keberhasilan Istiqamah inilah yang membenarkan pilihan Aksioma (Iman) baru tersebut.
4. Filsafat Sains: Konsistensi dan Falsifikasi
Filsuf sains modern secara eksplisit merumuskan bahwa tugas sains adalah istiqamah dalam menghadapi iman (Paradigma):
Karl Popper: Popper mengajarkan bahwa tugas ilmuwan bukanlah mencari bukti (dalīl) untuk membenarkan teori, melainkan mencari falsifikasi—menguji ketidak-Istiqamah-an teori. Ilmuwan harus mengimani prinsip dasar metodologi (paradigma), dan tugas mereka adalah konsisten dalam mengujinya.
Thomas Kuhn: Kuhn menjelaskan bahwa sains normal adalah periode Istiqamah kolektif di mana para ilmuwan bekerja untuk memperluas konsistensi sebuah paradigma yang diimani (seperangkat asumsi dasar). Mereka hanya beralih ke Iman baru (revolusi paradigma) ketika konsistensi lama terbukti terlalu sering dilanggar.
Dengan demikian, dari logika formal hingga eksperimen fisika, “Iman Berlanjut Istiqamah” adalah jantung dari metode intelektual yang produktif. Ini adalah pola yang membebaskan nalar dari overthinking yang melumpuhkan di tahap fondasi, dan mengarahkan energi pada pembangunan sistem pengetahuan yang koheren.