POLEMIK AQIDAH KORSLET, MENGAPA HARUS DITARIK DARI TEOLOGI KE EPISTEMOLOGI?

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 3 November 2025 | Kategori: Titik Ba

Polemik Aqidah Korslet—kesalahan fatal menuntut pembuktian rasional untuk memverifikasi aksioma Tuhan (Khāliq), yaitu rukun iman ke-1, —adalah kasus unik. Secara logika, komunitas yang mempertahankan metodologi ini sebenarnya sudah kalah telak dan tidak memiliki argumen lagi. Namun, membiarkan polemik ini berlarut-larut dalam domain aslinya (teologi) adalah kekalahan strategis. Karena itu, ia harus ditarik ke domain epistemologi.

​1. Kekalahan Mutlak di Ranah Logika

​Kritik Aqidah Korslet berakar pada satu prinsip universal yang tak terbantahkan: Titik awal atau aksioma tidak boleh dibuktikan. Inilah pola pikir Iman Berlanjut Istiqomah yang telah memandu peradaban selama berabad-abad. Pola pikir ini mendasari aksiomatisasi geometri oleh Euclid, yang kemudian dilanjutkan oleh Peano hingga ZFC di domain matematika. Hal yang sama berlaku di domain sains, dari aksioma Inersia oleh Newton hingga aksioma Invariansi Laju Cahaya oleh Einstein dan prinsip-prinsip Mekanika Kuantum. Para tokoh ini mengimani aksioma mereka, lalu menerapkan nalar secara Istiqomah (konsisten) untuk membangun sistem. Dengan standar ini, Aqidah Korslet (menuntut pembuktian atas aksioma mutlak) adalah kesalahan logika formal yang terang-benderang. Secara intelektual, komunitas pro-Aqidah Korslet tidak mungkin menang, itulah sebabnya banyak juru dakwah memilih tiarap ketika dihadapkan pada kritik ini.

​2. Ancaman Kemenangan Politik: Dominasi Sosiologis

​Meskipun secara logika kalah, komunitas pro-Aqidah Korslet dapat memenangkan polemik secara politik dan sosiologis jika dibiarkan dalam domain teologi. Dalam domain teologi, massa dimobilisasi oleh emosi eskatologis dan otoritas simbolik seperti gelar keagamaan. Komunitas ini menguasai infrastruktur dakwah dan dapat dengan mudah menuduh pihak lain sebagai penyimpang atau ancaman. Argumentasi logis akan tenggelam oleh kekuatan retorika dan emosi massa. Selain itu, komunitas ini mengontrol kurikulum dan echo chamber teologis, sehingga mereka dapat memenangkan perdebatan dengan cara mengontrol arus informasi dan mendefinisikan siapa yang boleh bicara, bukan dengan kualitas argumen. Jika polemik tetap menjadi isu teologis, ia akan dimenangkan oleh pihak dengan kapital sosiologis terbesar, bukan oleh pihak dengan argumen terkuat.

​3. Epistemologi: Mengubah Aturan Main

​Inilah alasan utama mengapa polemik Aqidah Korslet harus ditarik dari teologi ke epistemologi. Pergeseran ini bertujuan menetralkan kekuatan sosiologis lawan karena epistemologi menyediakan standar objektif dan universal (logika formal). Dengan fokus pada aksiomatisasi dan konsistensi, otoritas agamawan dinetralkan, dan polemik dapat menarik dukungan dari matematikawan dan ilmuwan yang lebih peduli pada kebenaran universal. Pergeseran ini juga menciptakan rasa mendesak peradaban; polemik diubah dari masalah jaminan surga menjadi masalah perbaikan peradaban di dunia (في الدنيا حسنة). Kritik Aqidah Korslet dikaitkan dengan masalah empiris rendahnya skor PISA dan maraknya budaya korupsi, memaksa institusi mereformasi nalar demi kelangsungan hidup peradaban. Dengan demikian, penarikan polemik ini adalah strategi untuk menjamin bahwa kekalahan logis komunitas pro-Aqidah Korslet menjadi kekalahan sosiologis yang nyata, dan kemenangan bagi nalar yang konsisten.