QS. 30:20–25 — ENAM AYAT YANG DIINGKARI AQIDAH KORSLET

Ahmad Thoha Faz | Dipublikasikan pada 3 November 2025 | Kategori: Titik Ba

Wabah overthinking—yaitu kekhawatiran dan analisis berlebihan yang melumpuhkan—melanda umat Islam karena gagal memahami kaidah fondasi keimanan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an:

> إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

(QS. Al-Aḥqāf: 13)

Ayat ini menyajikan formula metodologis dua langkah:

  1. Aksiomatisasi iman: قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ

  2. Pembuktian konsistensi: ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟

Imbalannya adalah kebebasan dari kekhawatiran (خَوْف) dan kesedihan (يَحْزَنُونَ). Aqidah Korslet—yaitu tuntutan untuk membuktikan Aksioma Tuhan—adalah penyakit metodologis yang secara fundamental melanggar formula ini, terutama dengan mengingkari fungsi آيات dalam QS. 30:20–25.

آية (Tanda) vs. دليل (Bukti)

Kesalahan mendasar dari Aqidah Korslet adalah mengganti fungsi آية menjadi دليل. Perbedaan krusial ini terletak pada status logis dan tujuan epistemiknya:

- دليل: Digunakan untuk memverifikasi kebenaran yang belum diketahui atau diragukan. Jika alam dijadikan دليل, maka ia menjadi premis yang harus diterima terlebih dahulu sebelum meyakini keberadaan Tuhan. Ini menempatkan makhluk sebagai fondasi yang lebih tinggi daripada Sang Pencipta.

- آية: Berfungsi sebagai penunjuk. Ia mengandaikan bahwa realitas yang ditunjuk—yaitu tauḥīd—telah ditetapkan sebagai aksioma. Tanda tidak membuktikan eksistensi, melainkan menegaskan konsistensi dan keindahan dari aksioma tersebut.

Analogi Sidik Jari

Sidik jari di lokasi kejadian adalah آية bagi keberadaan seseorang yang identitasnya sudah tercatat. Kita tidak menggunakan sidik jari untuk membuktikan bahwa orang itu ada, melainkan untuk menegaskan kehadiran dan kepemilikan. Demikian pula, alam semesta adalah آية yang menegaskan kekuasaan dan keesaan Allah yang telah ditetapkan.

QS. 30:20–25 — Enam Tanda yang Menuntut Tafakkur

Ayat-ayat ini menyebutkan fenomena penciptaan dan sosial, lalu mengarahkan pembaca untuk merenung (يَتَفَكَّرُونَ) dan menggunakan akal (يَعْقِلُونَ), bukan untuk membuktikan:

- Ayat 20: Penciptaan manusia dari tanah

> لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

- Ayat 21: Penciptaan pasangan dan kasih sayang

> لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

- Ayat 22: Keragaman bahasa dan warna kulit

> لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ

- Ayat 23–25: Tidur malam, pencarian karunia, kilat, hujan, dan berdirinya langit dan bumi

> لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ dan kembali لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Fokus dari keenam ayat ini adalah pembuktian konsistensi (istiqāmah) bahwa قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ adalah benar dan koheren dalam realitas.

Aqidah Korslet: Sumber Wabah Overthinking

Aqidah Korslet secara metodologis membalik status logis al-Qur’an. Dengan menjadikan alam sebagai دليل untuk membuktikan Sang Pencipta, ia melanggar logika fondasi (عقلية) dan mengabaikan fungsi آيات (نقلية).

- Melahirkan Kekhawatiran: Pengingkaran ini menciptakan خوف intelektual. Jika alam adalah دليل, maka setiap keraguan ilmiah menjadi ancaman terhadap iman. Ini adalah overthinking yang berputar dalam hipotesis tak berujung.

- Kelumpuhan Istiqāmah: Aqidah Korslet menghabiskan energi nalar pada langkah pertama (قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ), sehingga gagal mencapai pemahaman ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟. Selama umat terjebak dalam pembuktian fondasi, mereka tidak akan pernah mengalihkan energi untuk menjadikan tauḥīd sebagai basis kokoh dalam menyelesaikan persoalan etika, sosial, dan sains.

Jalan Keluar: Kembali ke Fungsi آيات

Tetapkan aksioma: قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ

Gunakan آيات untuk تفكر dan pembuktian konsistensi: ثُمَّ ٱسْتَقَـٰمُوا۟

Dengan demikian, umat terbebas dari overthinking dan خوف, serta diarahkan menuju pemahaman tauḥīd yang hidup dan produktif.